Iman Kristen dalam judul ini menunjuk kepada dogmatika gereja, atau doktrin yang diajarkan kepada umat. Apakah mungkin ada kekacauan di sana? Suka atau tidak jawabannya adalah; Ya! Dan, bahkan mungkin melenceng sangat jauh, masuk dalam kategori kesesatan. Melenceng itu berarti memutlakkan yang tidak mutlak sehingga menimbulkan perpecahan yang tidak perlu. Ada gereja yang menyanyi dengan bertepuk tangan, ada yang tidak. Ini adalah tradisi gereja yang tidak perlu dimutlakkan, tetapi memuji Tuhan, jemaat mutlak melakukannya. Yang mutlak adalah memuji, sementara tidak tepuk tangan (gereja yang dibangun misi dari Eropa), tepuk tangan (gereja yang dibangun misi dari Amerika), ini tidak mutlak. Karena itu gereja yang memutlakkan hal ini dengan mempersalahkan gereja yang tidak seperti mereka, ini sudah melenceng. Masih banyak isu lain disini.
Sementara sesat, adalah menunjuk perlawanan pada ajaran Alkitab. Seperti pernyataan bahwa Yesus Kristus bukan Tuhan. Isu ini telah memisahkan kaum Injili dengan kaum liberal yang tidak percaya bahwa Yesus Tuhan, dan bahwa Dia mati dan bangkit dalam arti yang seutuhnya. Berbagai aliran sesat ada banyak di sekitar dan merongrong gereja. Dalam perjalanan gereja hal ini selalu ada di tiap masa. Sebuah pergolakan dalam perubahan jaman. Di sini gereja diuji, sejauh mana gereja mengerti injil yang murni seperti yang dikatakan rasul Paulus. Gereja tak boleh gagap berdiskusi tentang Injil yang murni, yang setia kepada ajaran Alkitab. Masa kini, gereja diperhadapkan pada sikap membenarkan atau menolak homoseksual. Dikesempatan ini saya tak akan mengulas hal ini, namun sikap saya jelas menolaknya berdasarkan penggalian Alkitab, baik dari perspektif teologis, filosofis, psikologis dan sosiologis. Namun realitanya, gereja yang menerima juga tak sedikit, bahkan yang menempatkan diri sebagai gereja yang injili. Bagaimana gereja menghadapi realita ini? Sebuah permasalahan tersendiri.
Pertama, gereja harus menjadi gereja pembelajar yang berani menginvestasi waktunya untuk belajar Alkitab secara sistimatis. Tak hanya larut dalam kebaktian yang spektakuler tapi lalai dalam pendalaman Alkitab. Tuhan menghardik keras para pemimpin umat yang tidak tahu apa-apa, disebutnya sebagai anjing bisu, pelahap, yang hanya mengejar laba, dan tak pernah mampu mengajarkan kebenaran kepada umat. Mereka tak suka menggali Alkitab untuk mengerti dan menghidupinya. Mereka suka materi dan tak peduli pada kerohanian umat (Yesaya 56:10-12). Mereka tak seperti yang digambarkan Mazmur 119, yang merindukan kebenaran Firman Tuhan, mengamatinya dan bergemar dalam menjalani kebenaran itu seutuhnya. Bukan hanya mencomot dan akhirnya mengacaukannya. Dari masa kemasa selalu ada bahkan banyak pemimpin, pengkhotbah, yang tak suka belajar dan hanya suka berbicara. Semakin banyak mereka berbicara semakin besar kekacauan yang ditimbulkannya. Celakanya kuantitas selalu dijadikan ukuran, dan bukan kualitas seperti yang diajarkan Alkitab; Pohon dikenal dari buahnya.
Kedua, gereja harus menjadi pelaku Firman Tuhan yang terlihat, terasa, terukur, dan teruji. Orang Farisi mengerti isi kitab suci. Mereka belajar dan pantas disebut sebagai ahli Taurat. Banyak hal mereka tahu, tapi saat bersamaan banyak hal yang tak mereka lakukan. Dalam Matius 23:1-3, Yesus berkata; Dengarkanlah apa yang dikatakan oleh ahli Taurat, tapi jangan turuti perbuatan mereka. Perbuatan mereka tak sejalan dengan ajarannya, itu sebab mereka sering dihardik dengan sebutan orang munafik. Tetang orang Farisi ada banyak orang yang malas belajar Alkitab berkata, jangan terlalu banyak belajar nanti jadi seperti Farisi. Tampaknya mereka lupa atau memang tidak tahu sama sekali bahwa Tuhan Yesus sendiri mengatakan untuk mendengarkan mereka. Orang Farisi tahu Taurat tapi tidak melakukan, bagaimana yang tidak tahu Alkitab karena tidak mau belajar? Apa dasar dan ukuran mereka melakukan sesuatu. Ajaran diri sendiri hanya itu kemungkinannya! Seribu satu dalih orang yang malas belajar. Marilah kita belajar Alkitab dengan sungguh sungguh, tapi juga melakukannya dengan sungguh-sungguh. Jadi, jangan pernah malas belajar, apalagi dengan alasan, nanti menjadi seperti orang Farisi. Ini sebuah pembodohan yang akan melemahkan gereja. Dikemalasan gereja belajar, jelas sekali kelihatan dalam ketidakmampuan gereja menjawab jaman, apalagi memimpin jaman.
Ketiga, gereja harus mengerti isi kitab suci dan hidup dalam kuasa Allah. Dalam sebuah diskusi tentang kebangkitan Tuhan Yesus pernah menghardik orang Saduki dan menyebut mereka sebagai sesat, sebab tidak mengerti Kitab Suci dan kuasa Allah (Matius 22:29). Orang Saduki disebut tak mengerti isi Kitab Suci karena mereka tidak percaya akan kebangkitan, bukan karena tidak tahu Taurat sama sekali. Dan puncaknya, mereka tak memahami kuasa Allah sehingga mengukur segala sesuatu hanya berdasarkan paham manusiawinya. Kita harus memakai akal untuk mengerti kuasa Allah, namun jangan lupa bahwa kuasa Allah melampaui akal kita. Karena itu pada tiap orang percaya diberikan benih iman untuk memahaminya. Tapi harus diingat gereja yang ada kuasa Allah bukan berarti gereja yang menyelenggarakan festival mujijat. Bisa jadi justru mereka tak memahami kuasa Allah sehingga mengobralnya seperti praktek “perdukunan”. Kuasa Allah adalah kuasa untuk memahami kebenaran sepenuhnya, menaklukkan diri, dan percaya penuh akan apa yang Allah bisa perbuat seturut dengan kehendak Allah sendiri, bukan kehendak diri manusia.
Karena itu peringatan yang disampaikan oleh Tuhan Yesus sendiri, berulangkali, tentang kesesatan dan para penyesat patut menjadi perhatian gereja. Awas, jangan sesat, peringatan yang bertaburan didalam injil maupun surat para rasul. Bahwa para penyesat akan datang silih berganti disetiap masa, mereka menyebut dirinya guru, nabi, rasul, bahkan mesias, namun sejatinya mereka palsu. Tumpukan sebutan ditempelkan pada diri, namun cara hidup mereka sangat bertolak belakang dengan kebenaran Firman Tuhan. Jika Kristus mengajarkan gereja sangkal diri, maka mereka hidup memuaskan diri. jika Kristus mengajarkan pikul salib, maka mereka berkata kita tidak akan menderita lagi karena kebenaran. Jika Alkitab berkata jangan jadi hamba uang, mereka sangat mencintai uang, dan semua ujung pelayanan bermuara pada materi dan kenikmatan hidup. Seribu dalih mereka pakai untuk membenarkan diri, dan celakanya alasan mereka justru sangat disukai umat yang berdosa sehingga dengan rela mereka menjadi pengikut sebagai tempat membenarkan diri. Setali tiga uang antar gembala dan umat, itu gambaran yang pas. Dengan demikian kekacauan ajaran iman Kristen berjalan mulus.
Realita yang menyedihkan, namun tidak terbantahkan. Kearah mana gereja akan melangkah? Pertanyaan yang patut menjadi perenungan. Bagi gereja yang mencintai kebenaran, bergairahlah untuk belajar dengan mendalam, namun jangan lupa beraksilah dalam perilaku terpuji yang memuliakan Tuhan, dan bukan perilaku yang menjadi batu sandungan. Knowing theology dan doing theology, harus berjalan selaras. Iman dan kasih, ajaran dan perbuatan harus tampak nyata, terasa, terukur dan terpuji.
Selamat menjadi gereja yang benar ajaran dan benar perbuatan.