
Oleh: Harry Puspito
Relasi adalah bagian dari manusia dengan sesama, dengan lingkungan dan terlebih dengan Sang Pencipta. Orang percaya punya relasi yang special dengan Allah-nya, yaitu melalui Anak-Nya Yesus Kristus yang hadir dalam hidup orang percaya melalui Roh Kudus.
Hubungan yang intim dengan Allah membawa damai sejahtera, kepekaan rohani dan kepekaan terhadap kebenaran, ketenangan, pertumbuhan dan kuasa untuk melakukan kebenaran dan kehendakNya. Sebaliknya ketika orang jauh dari Tuhan dia akan kehilangan pengangan dan kuasa untuk hidup benar. Pada saat seperti itu orang akan jatuh dan tidak dipakai lagi oleh Tuhan secara optimal. Tidak heran salah satu ciri yang ditemukan oleh seorang pakar kepemimpinan Robert Clinton dalam diri para pemimpin adalah orang tersebut memiliki hubungan yang penuh gairah dengan Sang PenciptaNya.
Apa bisa manusia berelasi secara intim dengan Allah? Alkitab mengisahkan banyak nama yang punya hubungan demikian, paling tidak dalam periode-periode tertentu hidup mereka. Daud misalnya, digambarkan Alkitab memiliki hubungan yang akrab dengan Allah walau dia sering membuat kesalahan dalam hidupnya. Nuh dikatakan ‘hidup bergaul dengan Allah’ (Kej 6:9b).
Manusia diciptakan sesuai dengan gambar Allah (Kej 1:26) dengan kapasitas untuk berelasi dengan Sang Pencipta. Bahkan Paskal, seorang ahli fisika mengatakan manusia memiliki hati yang kosong sampai ruang kosong itu diisi oleh Kristus orang akan terus tidak puas. Tujuan hidup orang Kristen bukan menjadi lebih baik atau melakukan lebih banyak, tapi mengisi hatinya dengan Kristus sendiri.
Mengapa orang menjauhi hubungan dengan Sang Pencipta yang seharusnya merupakan kehormatan melebihi hubungan-hubungan lain? Ketika seseorang hidup dalam dosa, misalnya mempraktekkan korupsi melalui suap dalam bisnis, tidak mengampuni kesalahan seseorang, dsb, sudah barang tentu dia tidak bisa berhubungan dengan Tuhannya yang kudus. Keintiman hubungan akan terganggu sampai dosa-dosa diakui dan diselesaikan.
Kesibukan dalam kehidupan bisa menggeser suatu hubungan menjadi renggang; dan kerenggan hubungan dengan Tuhan potensi membawa orang pada kecintaan akan dunia, kehidupan yang tidak menyukakan Tuhan yang akhirnya kejatuhan dan kehidupan dalam dosa. Daud yang mencoba santai sebentar dan tidak menaruh pikirannya kepada Tuhannya, dalam waktu sebentar saja jatuh dalam dosa pembunuhan Uria, seorang prajuritnya, dan perjinaah dengan Betsyebah, istri Uria yang cantik itu. Sejak itu hubungannya dengan Tuhan ‘putus’ sampai dia bertobat ketika ditegur Tuhan melalui nabi Natan.
Kesombongan adalah penghalang lain yang memisahkan orang dari hubungan dengan Tuhan. Ketika seseorang telah ‘menjadi orang’, merasa bisa menjalani hidupnya sendiri tanpa Tuhan, tidak bisa lagi Tuhan berelasi dengan orang yang telah menjadikan dirinya sendiri sebagai tuhan. Bahkan ketika orang menjadi bangga dengan kerohaniannya, pelayanannya, doanya, bijaksananya….ini akan menjauhkannya dari Allahnya.
Prasyarat berelasi dengan Tuhan adalah memiliki kerendahan hati, karena kepada orang yang rendah hati saja Allah mendekatkan DiriNya (Mazmur 138:6). Namun kerendahan hati sebenarnya timbul dari pengenalan Allah. Dengan mengenal Allah, kita bisa mengenali diri dari kacamata Allah, yaitu sebagai manusia ciptaan yang berdosa tapi telah mendapatkan kasih karuniaNya, bahkan penghormatan untuk berelasi dengan Dia. Karena itu ada ungkapan: “Kejarlah Allah, Anda akan menemukan kerendahan-hati. Kejarlah kerendahan hati, maka Anda akan menemukan Allah” (William Farley).
Tokoh Alkitab yang tidak lekang kerendahan-hatinya dengan waktu dan oleh sukses pelayanan, bahkan menjadi semakin rendah hati adalah Paulus. Dia telah dipakai Tuhan dengan luar biasa namun hingga masa tuanya tidak berubah, bahkan semakin rendah hati. Pada usia yang sudah cukup lanjut, ketika buah pelayanan sudah begitu luar biasa Paulus masih mengatakan: “…dan di antara mereka akulah yang paling berdosa” (1 Tim 1:15b). Dengan kerendahan hati seseorang melihat kebutuhannya yang mutlak akan Allah.
Hubungan apapun, apalagi dengan Allah, memerlukan kepercayaan kepada pihak lain, dalam hal ini Allah. Kita percaya kebaikan Allah dan bahwa Dia mengasihi kita dan merencanakan yang baik bagi hidup kita. Kita juga mengasihi Dia dan membangun hubungan kasih itu. Dalam relasi yang intim juga ada keterbukaan antara kedua pihak. Kepada Allah kita mau mengemukakan pikiran dan perasaan-perasaan yang kita alami. Dan kita membuka komunikasi dua arah dengan Dia. Kita mencoba menangkap komunikasi Allah melalui FirmanNya yang kita baca, renungkan, dan aplikasikan dalam hidup. Dengan menenangkan diri di hadapanNya kita mencoba menangkap pesan-pesanNya yang sering timbul dalam pikiran, hati, atau Dia ungkapkan dengan cara-caraNya yang di luar pikiran kita.
Membangun relasi yang intim jelas memerlukan usaha dan membutuhkan waktu. Orang yang mau berelasi dengan Tuhan harus menjadikan ‘mencari Tuhan’ sebagai gaya hidup. Kita perlu membangun ‘ritual’ hidup di seputar gaya hidup ini. Kebiasaan bersaat teduh setiap hari, sebaiknya pagi sebelum memulai aktivitas sehari-hari, mutlak dibutuhkan. Komunikasi dengan Allah sepanjang hari perlu terus dijaga. Salah satu ayat Alkitab terpendek memerintahkan: “Tetaplah berdoa” (1 Tes 5:17). Ritual lain yang bisa kita lakukan adalah berdoa dengan keluarga, dengan istri, dengan anak, dengan kolega. Mempelajari Alkitab secara serius harus menjadi bagian dari gaya hidup – melalui pemahaman Alkitab pribadi, bersama, studi. Di luar itu melakukan apa perintah-perintah dan kehendakNya adalah utama. Ketika kita mendekatkan diri kepada DIa, maka Dia menjanjikan akan mendekat kepada kita (Yak 4:8a). Tuhan memberkati!
*****