Sebenar-benarnya Reformasi

 Pdt. Bigman Sirait

Follow @bigmansirait

Reformasi bukanlah kata asing bagi umat kristen.  Jauh sebelum euforia Reformasi menggelora di Indonesia lima belas tahun lalu, bertepatan dengan lengsernya Presiden Soeharto, Reformasi gereja telah lebih dulu disuarakan.  Tri-Sola terambil dari 95 dalil/esai Martin Luther, sang bapak reformasi menjadi penandanya.  Lebih jauh lagi sebelum itu, ribuan tahun lamanya, prinsip reformasi sebenarnya sudah ada.  Kitab suci kristen Perjanjian Lama, terkhusus dalam Ezra pasal 9 hingga 10 menyajikan prinsip-prinsip itu dengan terang-benderang.  Ezra menggambarkan dengan begitu jelas bahwa semangat Reformasi Kristiani tidaklah sekadar adanya perubahan.  Reformasi, jika diuraikan mengandung arti “Re”= Kembali dan ”Formasi” = Formation atau format yang sudah ada atau ditentukan.  Reformasi berarti kembali kepada format yang ditentukan.
Untuk mengarah kepada kesejatian Reformasi, atau reformasi Kristen yang sebenar-benarnya disyaratkan ada pengakuan dosa di sana.  Reformasi Kristen, seperti dijelaskan dalam Ezra adalah reformasi yang didasari dengan pertobatan.  Tanpa itu, mustahil terjadi perubahan yang bersifat mendasar.  Sebab dalam pertobatan dibangun hidup yang berdamai dengan Allah. Perdamaian itu yang kemudian menjadi semangat dalam hidup orang percaya.   Dalam reformasi kristen, reformasi dengan pertobatan, perilaku dan sikap-sikap yang tidak berkenan di hadapan Allah haruslah dibuang, tanpa ada tersisa.  Sesudah itu barulah dapat dibangun “bangunan“ yang baru.  “Bangunan” yang didirikan sesuai dengan firman Allah.  Itulah yang disebut dengan reformasi  yang sejati,  reformasi kristiani, yaitu kembali menjadi baru.  Jika prinsipnya sudah sedemikian jelasnya, lantas bagaimana orang kristen menghidupinya?  Di mana semangat kristiani? Di mana spiritnya orang kristen, yang katanya sudah mengalami reformasi sejati, ditandai dengan menerima pertobatan dari Tuhan?
 
Keberanian Karena Reformasi
Reformasi sejati niscaya mendatangkan keberanian.  Keberanian itu akan muncul dalam diri setiap anak-anak Tuhan, jikalau mereka sungguh-sungguh hidup dalam pergumulan.  Sungguh-sungguh menghidupi reformasi diri, reformasi dengan pertobatan.  Di dalam Kitab Kisah Para Rasul (KPR) dikisahkan bahwa Rasul Petrus dan Yohanes pernah ditangkap, bahkan kemudian diancam, jika berani lagi memberitakan Injil, maka dia akan dijebloskan ke dalam penjara.  Ancaman itu bukanlah omong-kosong belaka, atau sekadar gertak sambal.  Sebab, sebelumnya sudah ada contoh, kisah yang sangat jelas, bukan rahasia jika Yesus, Sang Guru dan Tuhan mereka itu pernah mengalami penganiayaan yang sangat menyakitkan.  Lalu bagaimana sikap orang yang sudah mengalami reformasi sejati seperti Rasul Petrus dan Yohanes melihat hal ini.
Apakah Para Rasul akan takut, lalu undur, menjadi lembek tidak berani menghidupi amanat yang dibebankan kepadanya?  Tidak, sama sekali tidak. Alih-alih membuat Rasul-rasul itu gentar, ancaman justru memantik militansi mereka dalam mewartakan berita suka-cita.  Dalam doanya, seperti tergambar dalam Kisah Para Rasul pasal 4,  Para Rasul justru berdoa demikian: “Dan sekarang, ya Tuhan, lihatlah bagaimana mereka mengancam kami dan berikanlah kepada hamba-hamba-Mu keberanian untuk memberitakan firman-Mu“(KPR 4: 29).”  Para Rasul tidak undur, ancaman itu justru membuat mereka, orang-orang yang sudah mengalami dan menghidupi reformasi sejati itu makin bergantung pada Allah sang empunya pelayanan.  Mungkin orang akan menyangka para rasul sudah gila.  Tidak, mereka tidak gila, doa minta keberanian adalah ekspresi dari kemahfuman, kemakluman atau kemengertian para rasul  terhadap tugas dan panggilan hidup mereka sebagai pelayan Allah.
Keberanian karena mengalami reformasi kristiani tidak muncul dalam bentuk berani menumpuk harta, gonta-ganti mobil, naik jabatan, mengejar gelar dan seterusnya. Orang yang sudah tereformasi atau mereformasi diri, ketika dia melanjutkan jenjang sekolah yang lebih tinggi lagi pun, sudah barang tentu akan sadar dan paham benar, bahwa ilmu dan gelar yang didapat tatkala dia studi adalah demi maksimalisasi diri dalam melayani.  Untuk melayani Tuhan dengan lebih baik lagi.  Dengan kata lain, keberanian diri untuk berbuat sesuatu, ini dan itu dilakukan atas dasar motivasi mendahulukan, atau demi semakin berkualitasnya pelayanan kepada Tuhan.  Pelayanan menjadi yang paling penting dan paling inti dari segala yang ada.
Sikap tidak populer yang dipilih Para Rasul jauh dari sikap banyak orang, pun gereja dalam arti lembaga di kekinian.  Di tengah-tengah ancaman, mereka justru minta keberanian, sementara orang di kekinian tidak jelas, hanya lantaran situasi yang mencekam, orang buru-buru meniadakan persekutuan dan kebaktian.  Betul, situasi apalagi akhir-akhir ini memang sedang marak kejahatan dan aksi teror, tapi bukankah Tuhan yang kita percaya itu tidak akan tinggal diam? Bukankah buah reformasi sejati, iman kepada Tuhan Yesus Kristus itu akan memberi keberanian pada kita orang percaya?
 
Reformasi yang Teraktualisasi
Reformasi sejati bukanlah monopoli diri, apalagi “kontroversi hati”, meminjam istilah Vikynasi yang populer saat ini.  Reformasi sejati bukanlah konsumsi batin semata. Reformasi sejati perlu dikerjakan dalam hidup. Reformasi sejati hari mewujud dalam kepekaan hati terhadap lingkungan sekitar.  Dengan demikian dituntut komitmen untuk lebih berani lagi mengubah sikap hidup. Berani merubah arah perjalanan hidup.  Tidak lagi sekadar menjadi orang yang bisanya berteriak-teriak di atas mimbar gereja tentang keadilan, padahal di gereja sendiri tidak ada keadilan.  Berteriak-teriak tentang berani menderita, padahal sendirinya mengeluh hanya lantaran tidak ada uang bensin ketika kunjungan ke jemaat.  Benar-benar jauh panggang dari api.
Reformasi yang teraktualiasai juga mengemuka dalam bentuk sikap yang rendah hati.  Setiap orang percaya tentu rindu Tuhan memberikan kerendahan hati kepadanya. Rendah hati bukan berarti nunduk-nunduk, rendah hati adalah mengatakan benar jika benar, dan salah jika salah, itu rendah hati.  Katakan Ya untuk Ya dan Tidak untuk Tidak, jangan lebih dan jangan dikurangi.  Orang yang mengaktualisasi reformasi sejati dalam bentuk kerendahan hati selalu sadar, apa yang dikerjakannya selau bergantung pada Tuhan.  Dan uniknya, orang yang rendah hati selalu mempunyai keberanian lebih dari orang pada umumnya.
Bapa-bapa Gereja, para Rasul, dan para Nabi adalah teladan dalam aktualisasi reformasi sejati.   Mereka mengalami kesulitan, mengalami penderitaan, tapi terus maju dengan gigih dan berani.  Mengalami kesulitan dan penderitaan tetapi tidak pernah lupa menegakkan keadilan.  Bukan itu saja, Bapa-bapa Gereja, para Rasul, dan para nabi tidak pernah pusing dengan diri mereka.  Sudah sewajarnya jika kita cemburu dan rindu menjadi dan melakukan seperti apa yang mereka lakukan.  Karena itu, mari kita mulai belajar mengevaluasi dan bertindak.  Reformasi sejati selalu memunculkan keberanian untuk bertindak dalam kehidupan.  Reformasi selalu melahirkan kepekaan untuk menegakkan keadilan bagi sekitar kita. Reformasi juga menumbuhkembangkan di dalam hidup kita pengharapan yang kuat, keberanian untuk memberitakan Injil, kepekaan menegakkan keadilan. Akhirnya reformasi akan membuat kita peka pada pimpinan Tuhan, dan cinta pada kebenaran, maka di sanalah pengharapan yang kuat itu dibangun.
(Disarikan dari CD khotbah Populer oleh Slawi)

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *