Harry Puspito
(harry.puspito@yahoo.com)*
Sebagai orang percaya kita diajar tentang tujuan hidup kita di dunia ini, yaitu memuliakan Allah dan menikmati Dia. 1 Korintus 10:31, misalnya, mengatakan: “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” Dan Pemazmur dalam Mazmur 73:25-26 mengatakan: “Siapa gerangan ada padaku di sorga selain Engkau? Selain Engkau tidak ada yang kuingini di bumi. Sekalipun dagingku dan hatiku habis lenyap, gunung batuku dan bagianku tetaplah Allah selama-lamanya.”
Dan, kita juga belajar bahwa kita diperintahkan untuk mengasihi Allah dan sesama dengan segenap hati, jiwa dan akal budi (Matius 22:37-37). Belajar mengasihi bukanlah pekerjaan yang mudah dan menuntut pengorbanan yang tidak kecil, bukan saja materi tapi juga non materi yang tidak ternilai. Mengasihi adalah seperti yang dicontohkan oleh Yesus, yang turun dari kemuliaan surga ke dunia yang sudah dirusak dosa; ditolak oleh orang-orang yang Dia kasihi; bahkan dimusuhi, diejek, disiksa hingga dibunuh dan mati yang paling hina di atas kayu salib. Sementara Paulus memberikan gambaran tentang kasih itu adalah: Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. (1 Kor 13:4-7).
Sementara dalam kehidupan sehari-hari kita telah disibukkan oleh berbagai tugas dan kegiatan. Kita seperti kekurangan waktu, waktu untuk memelihara diri, mengurus keluarga, bekerja, belajar, kegiatan sosial di komunitas tempat tinggal dan tempat bekerja, belum termasuk kegiatan gereja dan pelayanan. Kita mempunyai jadual yang demikian padat. Seseorang mengemukakan bahwa kemiskinan terbesar abad ini adalah kekurang waktu. Walaupun sebaliknya ada yang menyatakan sebenarnya kita punya waktu yang sama, yaitu 24 jam, tapi yang kita kekurangan adalah arah, arah untuk menggunakan waktu yang ada.
Kekurangan waktu itu tercermin, antara lain, dari berkembangnya istilah dan ketrampilan “multi-tasking”, yaitu orang mencoba mengerjakan beberapa hal sekaligus, dalam waktu yang sama. Contoh multi-tasking adalah ketika kita mendengarkan laporan team, kita mengetik email; kita berbicara dengan orang lain sambil membaca koran; kita mengikuti rapat sambil memeriksa laporan-laporan via telepon genggam, dan sebagainya. Masih menjadi bahan penelitian kemampuan dan keterbatasan manusia untuk melakukan multi-tasking dan produktivitas cara bekerja demikian. Namun jelas usaha multi-tasking ini menggambarkan kesibukan manusia modern seperti kita. Dan sangat mungkin kegiatan multi-tasking ini memberikan beban lebih besar daripada mengerjakan satu pekerjaan pada satu waktu.
Teknologi yang seharusnya menolong meringankan beban kita, malah membuat kita makin sibuk. Kalau dulu kita diakses oleh pihak lain ketika kita membuka surat elektronik alias email, sekarang email bisa di-pushke telepon genggam yang berarti terjadi setiap saat setiap waktu. Kemudian kita semakin terbiasa untuk merespon setiap komunikasi itu secara instan sehingga tidak merasa lega ketika kita belum merespon setiap komunikasi itu. Kita lihat dimana-mana – tempat menunggu, di kendaraan umum, di rapat-rapat, di meja makan, dimana saja – orang sibuk dengan gadget-nya.
Hukum alam terjadi, akhirnya kita terbentuk dengan kebiasaan melakukan sesuatu tanpa bisa berhenti. Ketika kita tidak melakukan sesuatu kita merasa aneh. Kemudian kita merasa bersalah. Banyak orang tidak pernah mengambil cuti kerja karena merasa pekerjaan belum selesai. Ada yang mengambil cuti dan kemudian merasa bersalah ketika berekreasi. Namun kesibukan juga bisa menjadi seperti candu, yang kemudian membuat orang gelisah ketika dia berhenti bekerja.
Ketika kita hanyut dalam kesibukan-kesibukan yang tidak ada hentinya ini maka kita terancam terhilang dari dari pokok anggur, yang menjadi pokok kehidupan rohani kita. Kita akan kehilangan kemampuan hidup sehat emosi dan melakukan apa yang Tuhan kehendaki (Lihat Yohanes 15:5), yaitu mengasihi Dia dan mengasihi sesama – yang memerlukan kekuatan dan kuasa-Nya.
Oleh karena itu kita memerlukan tali yang mengikat kita ke pohon kehidupan kita sehingga ketika terjadi badai kita tidak terlempar hilang tapi terikat kuat ke pohon kehidupan itu. Tali itu yang akan menarik kita kembali kepada Sang Pokok Anggur. Tali yang selalu me-reset kembali seluruh hidup kita ke arah yang baru, yaitu kepada Allah sendiri. Kita memerlukan strategi dan disiplin rohani sebagai kendali itu. Paulus yang begitu sibuk dengan pelayanan rohani, bahkan mengatahakan: “Tetapi aku melatih tubuhku dan menguasainya seluruhnya, supaya sesudah memberitakan Injil kepada orang lain, jangan aku sendiri ditolak.” (1 Kor 9:27). Tuhan memberkati ! BERSAMBUNG.