Pdt. Bigman Sirait
FollowTwitter @bigmansirait
Shalom, saya mau bertanya pak pendeta, tentang kedaulatan Allah
1. Apakah keputusan Allah dapat berubah? Mengapa? Melihat sikap Allah terhadap orang Niniwe, bisa berubah setelah melihat mereka bertobat. Padahal rencana awalnya ingin menghukum mereka? (Yunus 3;10… “Menyesallah Allah…”)
2. Apakah doa bisa mengubah sikap atau rencana Tuhan? Seperti Abraham yang berdoa untuk keselamatan Lot?
Demikianlah pertanyaan saya, terimakasih atas jawaban yang diberikan.
Salam dan Doa
Frans – Toraja
Frans yang dikasihi Tuhan!
Pertanyaan Anda patut kita bicarakan, karena bukan hanya menjadi pertanyaan dari banyak orang, tapi juga khotbah-khotbah yang sering membingungkan umat.
Untuk menjawab ini, sebaiknya kita memahami dulu siapa Allah yang kita kenal. Ini perlu untuk menyamakan persepsi. Alkitab dengan amat sangat jelas menyaksikan, bahwa Allah maha kuasa dan maha kuat (Yesaya 40:26). Dalam kemahakuasaan Allah, tak ada yang bisa mengatur-Nya, sebaliknya semua tunduk pada pengaturan-Nya. Dia juga maha kuat, sehingga tak ada satupun yang bisa mengalahkan-Nya. Dia Allah, Sang Pencipta, yang menjadikan segala sesuatu ada. Dan segala sesuatu yang ada, takluk dan bergantung kepada-Nya (Yohanes 1:1-3).
Juga perlu kita mengerti, bahwa Allah maha tahu, dan Dialah yang menguji segala perbuatan-perbuatan manusia. Artinya, di dalam kemahatahuan-Nya, Dia mengetahui segala rencana dan keinginan manusia, dan berkuasa untuk menahan atau meluluskannya, setelah Dia menguji segala sesuatunya (1 Samuel 2:3). Belum lagi ayat-ayat lainnya. Dari sini saja, sulit membayangkan bahwa doa manusia bisa merubah keputusan Allah yang maha itu.
Yesaya 55:8-9, mengatakan bahwa rancangan Allah bukan rancangan manusia, begitu juga jalan-Nya, berbeda jauh, seperti langit dan bumi. Lalu bagaimana manusia bisa mendekati rancangan Allah, bahkan merubahnya? Sungguh jauh dari ajaran Alkitab bukan? Jangan katakan bahwa Tuhan akan membuka rahasia-rahasia-Nya pada orang yang dikasihi-Nya. Itu ada dalam konteks ajaran dan hukum-hukum-Nya, bukan soal rahasia rencana. Dalam Ulangan 29:29, juga jelas dikatakan, yang terbuka ada bagi orang yang dikashi-Nya, namun bagian yang tertutup, sepenuhnya bagi Dia, dan ada dalam kedaulatan-Nya. Tidak ada negosiasi di sana. Lalu bagaimana memahami perkataan penyesalan Tuhan dan soal perubahan-Nya.
Mari kita teliti soal kata menyesal-lah Allah. Kata ini muncul beberapa kali dalam Alkitab (Kejadian 6:6, Keluaran 32:14, 1 Samuel 15:11, Yeremia 26:13, Yunus 3:9-10). Menyesal disini adalah bahasa antropologis, bukan hakekat Allah. Ini menunjukkan kedukaan, sekaligus kasih Allah, yang begitu mendalam atas ciptaan Nya. Allah tidak mungkin menyesal seperti penyesalan manusia. Samuel, yang juga pernah mengatakan Allah menyesal, berkata pada pasal yang sama 15:29: Allah tidak tahu menyesal, dan Dia bukan manusia yang harus menyesal. Jadi sangat jelas, menyesal disini bukan karena keputusan salah yang dibuat Allah. Karena kesalahan seperti itu, hanya terjadi pada manusia yang serba tidak maha tahu. Berbeda dengan Allah yang bersifat Maha Tahu. Jadi pendekatan maknanya harus berdasarkan konteksnya.
Dalam kasus Niniwe, Allah tak jadi menghukum Niniwe, bahkan sebaliknya menyelamatkannya. Ini jelas kasih-Nya. Nah, soal murka-Nya seberapa, tak ada yang tahu. Itu rahasia Allah. Mengatakan Dia berubah, adalah asumsi manusia. Sama seperti Raja Niniwe yang berkeyakinan Allah akan berbalik jika mereka berubah. Ingat, ini bukan Allah mengubah keputusan-Nya, karena kita memang tidak pernah tahu persis bagaimana posisi ketetapan Allah atas Niniwe, selain prakiraan manusia.
Sementara soal doa Abraham untuk Sodom (Kejadian 18:16-33), mari kita teliti dengan baik. Pertama bahwa bukan Abraham yang memulai mengajukan permintaan kepada Allah, melainkan Allah-lah yang memberitahu rencana-Nya kepada Abraham. Bagaimana Allah mengasihi dan memperlakukan Abraham, berdasarkan kedaulatan-Nya, termasuk menyatakan apa yang akan dilakukan-Nya atas Sodom dan Gomora. Kedua, Abraham, menawar? Negosiasi? Jelas tidak! Abraham memohon belas kasihan Allah, itu lebih tepat. Menawar, negosiasi, itu pada posisi yang sama. Sementara memohon adalah menaruh pengharapan pada yang berkuasa. Itulah sikap Abraham, dia kenal betul siapa Allah itu. Ketiga, permohonan Abraham terakhir adalah, apakah jika ada 10 orang benar, maka Sodom, Gomora tidak akan dihancurkan? Ternyata memang tidak ada 10 orang benar. Artinya permohonan Abraham tidak merubah apapun terhadap kehendak Allah. Bagaimana Lot dan keluarganya yang semua berjumlah 4 orang? Mereka selamat? Ya, mereka lepas dari api Sodom, Gomora, tetapi istrinya menjadi tiang garam (dihukum Allah).
Sementara Lot diselamatkan, tak ada kaitan langsung dengan permohonan Abraham. Dalam 2 Petrus 2:6-9, jelas dikatakan, Lot adalah orang benar, dengan pilihan hidup yang tidak benar. Lot terhisab sebagai orang benar karena ikut menerima janji Allah kepada Abraham. Lot adalah orang bersunat (Kejadian 17). Jelas sekali alasan penyelamatan Lot.
Jadi, belajar dari kasus Niniwe, Abraham, Lot, Sodom, Gomora, yang ada, adalah tafsiran beberapa pengkhotbah yang tidak sesuai dengan konteks Alkitab. Begitu juga dengan kasus Hizkia di 2 Raja 20:1-11: Doa permohonan Hizkia, didengar dan dikabulkan Tuhan (bukan negosiasi). Selanjutnya, sangat jelas, peristiwa kesembuhannya justru membuat Hizkia sombong, bercerita pada utusan Babel, dan mempertontonkan kekayaan istana (2 Raj 20:12-21). Akibatnya jelas, itu jadi pertanda pembuangan ke Babel, sekaligus sikap Hizkia yang tidak terpuji (asal ada damai selama aku hidup). Dia tidak peduli pada generasi selanjutnya. Baca juga, 2 Tawarikh 32:24-33. Andai Hizkia tak bertambah umurnya, dia juga tak akan membuat kesalahan fatalnya tentang masa depan kerajaan. Artinya, doa yang kita minta sesuai keinginan kita, dan dikabulkan Allah, tidak serta merta menghasilkan semuanya baik adanya. Allah bisa sedang menguji kita. Karena itu ingatlah apa yang dikatakan Amsal 30:8-9: Belajar menerima apa yang menjadi bagian kita. Dalam doa Bapa kami diajarkan oleh Tuhan Yesus, supaya kehendak Allah yang jadi di bumi seperti di surga. Jadi bukan soal negosiasi.
Demikianlah Franz yang dikasihi Allah. Mari kita belajar memahami kehendak-Nya dan tidak terjebak di gairah diri. Semoga semuanya menjadi jelas. Tuhan Allah memberkati kita.