Pdt. Bigman Sirait
Follow Twitter: @bigmansirait
Kata ‘paradigma’ cukup populer belakangan ini. Sejumlah partai politik (parpol) misalnya, mengklaim diri tampil dengan paradigma baru. Bahkan tidak sedikit orang yang mengaku-ngaku berparadigma baru. Apa sih yang dimaksud dengan paradigma baru, serta jika dikaitkan dengan iman kristiani? Paradigma berasal dari bahasa Yunani: para dan dereka. Secara sederhana paradigma berarti model, contoh, dan cara pandang. Paradigma sebagai contoh atau cara pandang, tidak hanya tergantung dari nilai yang tampak di luar, namun juga menyangkut isi/esensi, dan semangat. Anak-anak muda yang suka gonta-ganti baju, model rambut, tidak dapat dikatakan berparadigma baru. Sebab yang baru itu hanya bagian luar saja, semangat hidupnya tetap lama.
Parpol yang mengklaim diri tampil dengan paradigma baru, hanya omong kosong jika spirit/semangat para pengurus tidak berubah menjadi baru. Jadi jangan menggunakan istilah paradigma baru selama belum ada pembaharuan di dalam jiwa. Kalau perubahan itu hanya di kulit/bagian luar saja, tidak ada bedanya dengan anak-anak muda yang suka gonta-ganti model rambut atau busana tadi.
Jika kita mengaku sebagai manusia berparadigma baru, artinya kita memiliki cara pandang yang baru, semangat yang baru. Kita memandang segala sesuatu itu dengan konsep yang baru, konsep sebagai orang yang sudah mengenal Tuhan. Berdasarkan konsep baru itulah kita memandang dunia, menilai kehidupan ini. Bagaimana cara kita memandang pekerjaan, pernikahan, kekayaan, itu semua memerlukan paradigma baru, paradigma dari seseorang yang sudah dibebaskan oleh Yesus dari dosa, paradigma dari seseorang yang mengenal Tuhan Yesus.
Dengan paradigma baru, kita melakukan pergumulan mengatasi persoalan hidup. Oleh karena itu, paradigma baru hanya mungkin muncul dari orang yang lahir baru, yang hidup bersama-sama dengan Kristus. Paradigma itu tidak terbatas, karena selalu mengalami pembaruan. Seorang ilmuwan misalnya, harus mempunyai paradigma untuk melahirkan suatu teori atau memecahkan suatu persoalan. Pada waktu persoalan itu bisa dipecahkan, muncul lagi persoalan lain, dan dia membutuhkan lagi satu paradigma, demikian seterusnya. Dengan demikian, paradigma selalu berputar, dinamis, tidak pernah berhenti, seiring dengan perputaran, persoalan, pergumulan konsep dunia ini.
Bagi kita yang hidup di zaman modern, paradigma harus selalu berubah. Artinya, memasuki tahun yang baru, paradigma kita harus terus diperbaharui. Ini penting, supaya kekristenan tidak ketinggalan zaman, tidak menjadi kacau dan menjadi batu sandungan. Jangan kembali ke paradigma lama, paradigma orang-orang yang belum mengenal Kristus, tetapi marilah memiliki paradigma baru, yaitu paradigma sebagai orang yang sudah mengenal Kristus, sehingga kita mengamati dan menilai hidup ini dengan cara yang luar biasa.
Jika kita sudah memiliki paradigma baru, maka kita tidak akan terjebak lagi pada ukuran dan permasalahan orang-orang lama, yang bisa membuat kita jadi ekstrim. Mengapa ini bisa terjadi? Sebab dunia terus berputar dan maju, maka kita pun harus menyesuaikan dinamika hidup kita dengan perubahan-perubahan itu. Dan jika kita tidak memiliki konsep yang maju sesuai ajaran Alkitab yang sudah komplit, tergilaslah kita bahkan bisa terjebak menjadi ekstrim dalam memandang sesuatu permasalahan.
Maka, kita harus memperhatikan seluruh bagian Alkitab dan mempelajarinya secara perlahan-lahan. Dengan berparadigma baru, kita akan mampu menempatkan segala aspek kehidupan sesuai tuntutan Alkitab. Dalam menekuni pekerjaan misalnya, apakah kita sudah menempatkan segala sesuatu itu sesuai dengan tuntutan kebenaran firman Allah? Apakah kita sudah mulai memikirkan segala sesuatu seperti apa yang diajarkan Alkitab? Bagaimana sikap kita waktu mendengar isu PHK? Cobalah berdialog secara pribadi dengan diri sendiri maka kita akan melihat seperti apa hidup kita.
Di dalam ibadah, kita sering disuguhi pertanyaan-pertanyaan seperti ini: “Apakah Anda percaya pada Tuhan Yesus? Apakah Anda percaya bahwa Yesus mampu melakukan segala perkara? Percayakah Anda bahwa Yesus sungguh-sungguh hadir dalam setiap langkah hidupmu?” Atas pertanyaan-pertanyaan itu, kita pasti memberi jawaban lantang: “Percaya!” Tetapi ketika ditanyakan: “Apakah Anda khawatir jika suatu saat nanti sembako (beras) tidak terbeli?” Sebagai jawabannya, biasanya kita hanya cengengesan, artinya, ada rasa khawatir.
Dan itu adalah realita. Kita hanya pintar berteori, mudah mengaku percaya (pada Yesus), tetapi kenyataan membuktikan bahwa kita sebenarnya tidak percaya. Kalau memang kita percaya Yesus mampu melakukan segala perkara, dan kalau kita percaya Yesus menyertai kita dalam setiap tarikan nafas kehidupan, apa yang mesti kita takutkan? Misalkan Anda terkena PHK, kalau percaya Yesus ada dan mau menolong, Dia pasti akan memberikan pekerjaan yang lebih baik. Jika sembako naik setinggi langit kek, pasti akan dibereskanNya. Tetapi, saat menghadapi realita-realita seperti ini, justru doa kita menjadi lain. Kita meminta agar Tuhan cepat-cepat menurunkan harga sembako. Bukankah ini menunjukkan sikap egoistis kita? Bukankah ini memperlihatkan bahwa kita hanya mau yang nikmat-nikmat saja? Jika demikian, kita tidak pernah memiliki paradigma yang baru. Padahal begitulah cara Allah mendidik kita. Persoalannya, maukah kita memahami pendidikan dari Allah itu?
Apa yang kita ucapkan dengan semangat tinggi dan berapi-api sering tidak sejalan dengan sikap hidup. Akhirnya, kita sering salah dalam banyak hal. Apa yang kita katakan tidak seperti apa yang kita mengerti. Apa yang kita lakukan, tidak sama dengan yang kita yakini untuk kita wujudkan. Nah, paradigma baru selalu memerlukan sebuah proses yang berubah, merangsang seluruh kehidupan. Marilah kita mulai memikirkan ini baik-baik. Masukilah hari ini dengan satu semangat dan cara berpikir yang baru. Sekalipun hal itu mengganggu, belum bisa merumuskannya, cobalah pelan-pelan. Besok, minggu depan dan selanjutnya, kita mulai bisa mengoreksi sikap: benar atau masih salah. Kiranya Tuhan memberkati kita, amen.***