Menyukuri Penderitaan

Pdt. Bigman Sirait

Follow Twitter: @bigmansirait

Menderita, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah menanggung sesuatu yang tidak menyenangkan. Dengan demikian, tidak seorang pun ingin menderita. Setiap orang selalu berupaya agar tidak sampai menanggung suatu penderitaan, sekecil apa pun itu. Namun pada kenyataannya, banyak orang yang hidup menderita, baik itu karena miskin, sakit, atau sebab lainnya.

Ada yang berpendapat, hidup adalah penderitaan. Artinya, setiap orang yang hidup harus siap menderita. Dengan kata lain, tidak ada seorang pun yang akan bisa melepaskan diri dari penderitaan. Lalu, bagaimana caranya supaya manusia tidak menderita? Gampang. Nikmati saja penderitaan itu, bahkan menyukuri (men-syukur-i, Red)-nya. Lho?

Mengapa kita harus menyukuri penderitaan? Rasul Paulus memberi jawaban: “Penderitaan adalah anugerah yang dikaruniakanNya.” Kalimat ini tentu aneh bagi kita yang hidup di zaman modern ini. Betapa tidak. Selama ini, penderitaan telah menjadi musuh modernisme yang sangat mengagungkan pemanjaan diri dan kenikmatan hidup. Penemuan teknologi makin memudahkan manusia dalam kehidupan. Semua dibuat simpel, mudah dan harus menyenangkan. Ini mengantarkan manusia pada sikap penolakan total terhadap penderitaan.

            Penderitaan ditolak manusia zaman sekarang lantaran mereka berada dalam cengkeraman egoisme. Dalam kungkungan egoisme ini, manusia akan menyambut dengan penuh antusias kebahagiaan dan menolak mentah-mentah penderitaan. Egoisme membuat manusia menerima hanya yang diinginkannya, bukan yang diinginkan orang lain, termasuk yang dikehendaki Tuhan.

            Ketika egoisme menguasai hati, kita pasti menolak segala sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan. Jika sudah demikian, apakah kita masih tetap bisa bersyukur apabila sesuatu yang terjadi dalam hidup tidak sesuai dengan keinginan? Barangkali tidak. Malah kita justru mengkomplain Tuhan: “Tuhan, mengapa ini terjadi pada diriku?” Dan pada puncaknya kita akan berkata, ”Aku tidak rela!”

            Sifat egois membuat kita mencintai diri sendiri lebih dari segalanya sehingga kita tidak memiliki sisa  cinta untuk orang lain bahkan untuk Tuhan sekalipun sebagai sumber cinta. Egoisme yang bercokol di hati kita membuat penderitaan menjadi musuh yang harus dienyahkan. Penderitaan harus dibuang sejauh-jauhnya dalam tempo yang sesingkat-singkatnya sebelum dia menggoyang kenyamanan dan kenikmatan hidup.

            Penolakan atas penderitaan dimungkinkan pula oleh semangat materialisme yang merasuki dunia ini. Takaran kebahagiaan diukur dari seberapa banyak harta yang  dimiliki.  Kita merasa sangat menderita jika tidak memiliki uang. Masa depan terasa suram bahkan kehilangan pegangan saat di-PHK. Bila sebelumnya kita sungguh mencintai Tuhan, namun ketika kemiskinan datang, kita tersentak, dan bertanya lantang, “Tuhan, di manakah Kau?!” Kita menolak realitas.

            Umat Kristen memang hidup di tengah dunia yang penuh dengan penderitaan. Namun kita tidak boleh mengadopsi, apalagi menghayati semangat penolakan atas penderitaan itu. Sebab bagi orang Kristen, penderitaan merupakan anugerah. Bagaimana kita memahami ‘keanehan’ ini? Dalam Filippi 1: 29-30 dikatakan: Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus,  melainkan juga untuk menderita untuk Dia, dalam pergumulan yang sama seperti yang dahulu kamu lihat padaku, dan yang sekarang kamu dengar tentang aku.”

Bagaimana kita dikatakan menerima anugerah ketika kita menderita? Kontradiksi ini baru bisa diterima dan dimengerti apabila kita percaya kepada Kristus dan menerimaNya sebagai Tuhan dan juru selamat. Jadi kita harus mempunyai kesadaran utuh pada waktu kita menerima salibNya. Kita harus mempunyai tanda tangan kontrak mengikuti dan berjalan pada jalanNya.

            Mengikuti Yesus tidak bisa secara parsial atau sepotong-sepotong. Kita harus mengikutiNya secara total dan utuh. Mengikuti Kristus berarti siap menerima apa pun yang bakal diberikanNya. Ketika Dia memberikan bekal dalami perjalanan kita, kita menyukurinya. Dan ketika Dia meminta kita untuk berlenggang dalam kemiskinan tanpa bekal, kita tidak boleh kecewa. Kita harus tetap bersyukur. Bahkan ketika Dia mengambil apa yang paling kita sayangi, kita harus tetap bersyukur.

            Sikap demikian hanya akan menjadi milik kita apabila kita mempunyai iman.  Iman memampukan kita untuk menerima apa yang dikerjakanNya sebagai suatu anugerah. Iman pula yang memungkinkan kita untuk melihat apa yang tidak tertangkap mata di balik setiap peristiwa yang kita alami. Apa itu iman? Ada yang bilang keyakinan. Semua orang memiliki keyakinan. Keyakinan inilah yang menggerakkan orang untuk meraih cita-cita. Tapi iman tidak sekadar keyakinan. Iman adalah Allah yang menyatakan diriNya kepada manusia dan memampukan manusia merespon kepada Allah. Allah yang berbicara dimengerti oleh manusia karena Allah memberi pengertian sehingga manusia mampu memberikan respon kepada Allah. Jadi ringkasnya, iman merupakan suatu dialog kehidupan.

            Iman yang sama pula memampukan kita untuk senantiasa bersyukur. Dan oleh karena anugerahNya, kita bisa mengucap syukur atas segala sesuatu, termasuk penderitaan yang sedang kita alami. Iman tidak diekspresikan dengan cara berpindah-pindah tempat ibadah hanya karena di sana ada penghiburan semu: khotbah-khotbah yang memuaskan telinga. Sementara, jika kita keluar dari tempat ibadah, kita masih merasakan beban/masalah yang menindih. Iman tidak akan muncul dari kebiasaan mencari ekstasi rohani dan kenikmatan semu.

            Saat iman kita belum berakar kuat, mungkin saja kita ikut berbakti, tetapi sebenarnya semua itu merupakan upaya untuk menghindari rasa sakit yang berkepanjangan yang kita sebut sebagai penderitaan. Ibadah kita jadikan tempat mengambil obat untuk mengusir penderitaan. Dengan sikap seperti ini hampir dapat dipastikan bahwa kita tidak mungkin bisa bersyukur kepada Tuhan. Paling banter kita akan mengeluh minta pertolonganNya. Malah ada yang berkata dengan nada setengah menuntut, ”Saya sudah beribadah, sekarang bayar dong, Tuhan!”

            Kalau itu yang menjadi sikap mental dan gaya kekristenan kita, kita tidak akan mampu menerima penderitaan sebagai realitas yang pahit dan sulit. Kita tidak akan mampu menerima penderitaan dari dan oleh Kristus. Kita tidak akan bisa bersyukur atas anugerah penderitaan.*

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *