Pdt. Bigman Sirait
Follow Twitter: @bigmansirait
Puasa – suatu aktivitas menghindari makanan dan minuman dalam jangka waktu tertentu, dikenal pada hampir semua agama. Pertengahan bulan ini misalnya, umat Islam memasuki bulan Ramadhan, saat di mana mereka menunaikan salah satu kewajiban agamanya: berpuasa sebulan penuh. Selama menjalankan ibadah agama itu, mereka harus mengekang segala hawa nafsu dari mulai matahari terbit hingga terbenam. Artinya mereka tidak boleh makan-minum-merokok-melakukan kontak badan (bagi suami-istri), bahkan mengumbar emosi.
Bagaimana pemahaman puasa dalam kekristenan? Dalam Perjanjian Lama (PL) puasa dianggap sebagai wujud penyesalan, pengakuan dosa, perkabungan, dan pola hidup saleh. Namun dalam Perjanjian Baru (PB), puasa seperti ini dinilai sebagai paradigma lama. Puasa dalam PB dimulai oleh Yesus di padang gurun selama empat puluh hari empat puluh malam. Tetapi dalam Matius 4 dikatakan, Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis. Yesus berpuasa bukan untuk menunjukkan hidupnya yang saleh, bukan pula sebagai wujud penyesalan, juga bukan untuk perkabungan atau pengakuan dosa.
Usai berpuasa, Dia mulai dicobai oleh iblis. Tetapi perhatikan, Yesus berhasil mengatasi godaan-godaan iblis itu bukan karena Dia berpuasa, tetapi karena Dia selalu memakai firman Allah untuk menjawab tantangan iblis. Firman Allah-lah yang memenangkan Yesus, bukan puasanya. Yesus menjawab godaan iblis dengan firman Allah. Contoh, pada waktu iblis mengatakan, “Bukankah Engkau anak Allah? Perintahkanlah batu-batu ini supaya menjadi roti.” (Iblis tahu, saat itu Yesus lapar setelah berpuasa selama empat puluh hari empat puluh malam.) Tetapi apa jawab Yesus? “Ada tertulis, manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” Jadi – sekali lagi – bukan karena puasa maka Yesus menang atas godaan, tetapi karena dia memakai firman Allah.
Dalam Kisah Para Rasul 13 diungkapkan bagaimana para rasul berpuasa. Ayat 2 berbunyi demikian: Pada suatu hari ketika mereka beribadah kepada Tuhan dan berpuasa, berkatalah Roh Kudus… (Perhatikan kalimat: ‘pada waktu mereka beribadah dan berpuasa, berkatalah Roh Kudus…’). Jadi Roh Kudus datang dan bicara pada waktu mereka ibadah dan puasa. Tetapi bukan karena mereka puasa menyebabkan ibadah mereka menjadi lebih kuat sehingga Roh Kudus datang, tetapi Roh Kudus mau datang dalam kondisi mereka berdoa dan berpuasa.
Yesus mengkritik orang Parisi yang berpuasa, karena yang dikehendaki Dia bukan puasanya tetapi sikap hati. Mengapa sikap hati menjadi penting? Karena memang sikap hati menjadi kunci daripada ibadah. Ibadah yang sejati adalah mempersembahkan seluruh hidup/diri kepada Tuhan. Dalam pasal 13 tadi ibadah dan puasa itu mempunyai dua penekanan yang lain: beribadah dan berpuasa. Artinya, puasa bukan sebagai ibadah. Berpantang kawin, berpantang makan, dalam rangka melatih diri supaya lebih suci dan murni, adalah ajaran asketis.
Rasul Paulus mengatakan, latihan badani terbatas gunanya. Latihan badani di sini mengacu pada apa yang disebut dengan puasa tadi. Puasa adalah suatu latihan badani, supaya bisa mengendalikan emosi misalnya. Dan aktivitas pelatihan diri seperti itu memang sedang terjadi pada jemaat pada waktu itu. Orang-orang penganut ajaran asketis itu sangat menekankan pada prinsip-prinsip seperti itu, dan mereka adalah orang-orang Yahudi yang mempertahankan paradigma lama dari puasa, dibawa kepada konsep PB. Sehingga Paulus mengatakan bukan itu tujuannya, tetapi ibadah: ibadah yang berpusat kepada Kristus! Jadi Paulus tidak pernah menempatkan puasa lebih penting daripada ibadah atau doa, bahkan dia melihat puasa itu sebagai latihan badani yang terbatas gunanya.
Kalau ada pertanyaan: Bolehkan berpuasa? Jawabnya, tentu saja boleh. Sebab puasa itu merupakan suatu latihan badani yang cukup baik. Puasa melatih mengendalikan emosi. Tetapi yang perlu dimengerti, puasa tidak pernah bisa menentukan kualitas iman seseorang, karena kualitas iman ditentukan oleh hubungan pribadi dengan Tuhan. Puasa tidak pernah menentukan kekuatan doa kita, karena kekuatan doa ditentukan oleh sikap kita kepada Tuhan.
Jadi, bedakan antara puasa dengan ibadah. Puasa hanya merupakan suatu latihan badani yang baik, yang mungkin bisa menolong. Tetapi awas, jangan jadikan itu ukuran tingkat kerohanian. Itulah puasa dengan paradigma baru yang diajarkan Alkitab. Doa jauh lebih penting dibanding puasa, bukan sebaliknya. Doa tidak bergantung pada puasa. Itulah sebabnya para rasul banyak membicarakan dan mengajarkan hal berdoa, tetapi tidak pernah mereka mengajarkan berpuasa. Mereka memang menunjukkan bahwa mereka berpuasa, tetapi tidak pernah mengajarkan atau menganjurkan untuk berpuasa, yang mereka ajarkan adalah berdoa. Yesus sendiri mengajarkan ‘Doa Bapak Kami’. Tetapi Dia mengkritik orang-orang Parisi yang berpuasa.
Bolehkah menggabungkan doa dengan puasa? Boleh, tetapi harus diingat, tidak berarti dengan berpuasa maka doa menjadi lebih ampuh, tetapi sikap hati, itulah yang menentukan. Yakobus 5:16 mengatakan antara lain:…Doa orang yang benar, bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya. Bukan: doa orang yang berpuasa itu besar kuasanya.
Puasa dengan paradigma baru memang perlu kita pahami, supaya orang jangan salah mengerti tentang kekristenan. Sebab tidak sedikit orang Kristen berpuasa menurut/meniru cara-cara agama lain. Ini jelas keliru, sebab memang konsep Injil tentang puasa bukan seperti itu. Jadi kalau mau berpuasa, lakukanlah sesuai dengan yang dikatakan Alkitab, dengan paradigma baru.
Puasa adalah suatu latihan badani yang bisa saja cocok bagi seseorang, tetapi belum tentu cocok untuk orang lain. Puasa bukan suatu keharusan. Alangkah baiknya memang, kalau Anda bisa berpuasa. Sebaliknya, janganlah menilai orang yang tidak berpuasa karena sakit maag dan sebagainya sebagai kurang rohani, dan kurang baik.
Dan jangan memaksakan diri berpuasa seakan-akan itu hal yang sangat penting, padahal Anda sebenarnya tidak rela. Jangan berpuasa hanya karena tuntutan hidup yang suci, sampai menahan lapar, yang bisa membuat Anda malah menjadi batu sandungan, bukan lagi menjadi berkat. Jangan ulangi kesalahan orang-orang Parisi yang sampai dikritik oleh Yesus.