
Sudah lebih dari separuh abad bangsa ini silih berganti kurikulum: dari Kurikulum 1975, 1984, 1994, Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi), Kurikulum 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), Kurikulum 2013, hingga kini Kurikulum Merdeka. Setiap kali hadir, ia dijanjikan sebagai solusi baru. Namun di ruang-ruang kelas, wajah pendidikan kita tetap sama: guru mendominasi, murid pasif, buku pelajaran jadi pusat segalanya.
Anggaran Besar, Perubahan Kecil
Padahal, anggaran pendidikan begitu besar. Konstitusi mewajibkan 20% APBN dialokasikan untuk sektor ini, bahkan konon juga 20% APBD di tingkat daerah. Namun, sebesar apa pun dana yang dikucurkan, pendidikan akan tetap lari di tempat jika mindset dan strategi yang digunakan masih juga itu-itu saja. Perubahan sejati tidak mungkin lahir dari kosmetik kurikulum belaka; ia menuntut keberanian untuk melakukan pembongkaran besar-besaran.
Buku Jadi Kurikulum
Ambil contoh praktik sehari-hari di sekolah. Buku siswa yang seharusnya menjadi alat bantu, justru berubah menjadi kurikulum itu sendiri. Dicetak massal, bebas beredar, tanpa kontrol mutu yang ketat, buku-buku ini lalu menjadi “menu harian” murid.
Sayangnya, menu itu hambar dan tak bergizi. Seperti rumah makan yang tiap hari hanya menyajikan satu menu tanpa variasi namun miskin nutrisi, sekolah kita pun hanya menjejalkan hafalan — tanpa gizi intelektual, tanpa tantangan, tanpa rasa ingin tahu. Mayoritas buku hanya menuntut keterampilan berpikir tingkat rendah (LOTS), dan miskin tantangan untuk mengasah kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) seperti analisis, evaluasi, dan pemecahan masalah.
Lebih buruk lagi, kontennya nyaris selalu teoritik, tidak dikaitkan dengan masalah-masalah aktual yang dihadapi sehari-hari. Buku-buku itu sekadar deskriptif, bukan problematik; memberi jawaban instan, bukan memantik pertanyaan baru. Alih-alih membangkitkan rasa ingin tahu, ia justru mematikan keberanian murid untuk bertanya dan menggugat. Maka, tak heran jika lulusan kita sering kali lemah dalam kemandirian, kreativitas, dan daya saing.
Peluang dari Kurikulum Merdeka
Kurikulum Merdeka sebenarnya membuka peluang. Ia menekankan pembelajaran yang lebih bermakna, kontekstual, dan memerdekakan potensi setiap anak didik. Namun, semua itu hanya bisa terwujud bila guru didukung untuk bertransformasi menjadi fasilitator sejati, bukan sekadar “penyampai materi”. Perlu penguatan kontrol mutu buku dan bahan ajar lainnya, penyediaan sumber belajar yang beragam, serta asesmen otentik yang menilai proses, bukan sekadar angka.
Anggaran pendidikan yang besar seharusnya difokuskan untuk itu. Tanpa pembongkaran mendasar, uang sebanyak apa pun hanya akan hilang dalam pusaran rutinitas lama: kurikulum berganti nama, anggaran terserap, tetapi kelas tetap tak bergerak.
Simpulan
Sudah saatnya kita bertanya dengan jujur: beranikah bangsa ini benar-benar mereformasi mindset dan strategi pendidikannya? Jika tidak, kurikulum akan terus lari di tempat, sementara anggarannya membengkak tanpa menghasilkan lompatan berarti. Dan yang paling rugi, tentu saja, adalah generasi muda yang harus berjuang dengan bekal seadanya di tengah peradaban abad ke-21.
YMP
Malang, 15 September 2025
Sumber Data & Referensi
1. Regulasi & Anggaran Pendidikan Indonesia
⦁ UUD 1945 Pasal 31 ayat 4: alokasi minimal 20% APBN untuk pendidikan.
⦁ APBN 2023: anggaran pendidikan Rp 612,2 triliun (Kemenkeu).
⦁ Peraturan terkait Standar Nasional Pendidikan & dokumen resmi Kurikulum Merdeka (Kemendikbudristek, 2022).
2. Hasil Riset & Evaluasi
⦁ Balitbangristek 2023: evaluasi implementasi Kurikulum Merdeka.
⦁ World Bank (2020–2023): kajian efektivitas reformasi pendidikan di Indonesia.
⦁ UNESCO (2021–2023): kompetensi abad 21 dan transformasi kurikulum.
3. Data Internasional
⦁ OECD PISA 2022: capaian siswa Indonesia berada di kelompok bawah.
⦁ OECD Future of Education and Skills 2030.
⦁ UNICEF (2022–2023): laporan Learning Recovery pasca pandemi.