Nge Sup Bareng Ahok

PEMARAH dan marah adalah dua kata yang sangat berbeda. Pemarah menunjukkan seorang yang suka dan sering marah-marah, bahkan untuk alasan yang sangat sepele. Sementara yang kedua menunjukkan sikap marah karena sesuatu alasan dan dapat dijelaskan. Namun dalam konteks kekinian arti sebuah kata seringkali menjadi rancu, tidak lagi tergantung bunyi yang sejatinya mengandung makna, tapi terserah yang mendengar mau mengartikan apa. Di Indonesia sedang terjadi ‘revolusi besar makna kata’. Ada dan tiada satu kata, sepertinya tak lagi berbeda. Semoga ini tak permanen.

Nikmati #SUP Lainnya: #SUP TAK BERAGAMA

Ahok pemarah itulah kata yang sering kita dengar. Betulkah? Lagi-lagi tergantung selera menafsirkannya. Duduk santai, bercerita terbuka, tanpa agenda tersembunyi, Ahok terasa humanis dengan canda apa adanya. Mengapa saya diberi label pemarah, dia berbagi kisah lengkap. Maklum selama ini kita kebanyakan disuguhkan potongan kemarahan tanpa tahu cerita sebab akibatnya. Tak bisa dipungkiri, saya juga was-was dan gerah dengan cara bicaranya. Melihat sekilas di media jelas dia pemarah, tapi tahu cerita lengkapnya, kita akan berubah sangka. Maklum seperti kata beberapa kawan, Ahok ini membuat susah pecinta harta. Mulai dari yang kelas kakap hingga kelas teri, semua sama marahnya. Ahok disorot media, sementara yang lain mensuplai berita potongan. Jadilah Ahok disebut pemarah, sementara bawahan adalah korbannya.

Nikmati #SUP Lainnya: Nge #SUP PANGGUNG AHOK

Dengan jujur Ahok berkata, saya memang seringkali emosi, tapi bukan tanpa sebab. Dia marah besar karena ketidakjujuran dilingkungan kerjanya. Kisah Bus Tansjakarta menjadi catatan penting. Baru dibeli langsung rusak berkali-kali. Tak jelas kualifikasinya, tapi jelas mahal sekali harganya. Hanya dengan menambah sekitar 200 juta/unit, DKI bisa membeli bus merek Scania, standar bus kelas dunia. Kemana perginya selisih uang besar pengadaan bus? Itu juga yang terjadi dengan kisah UPS yang populer, karena harganya termahal sedunia. Beberapa pelaku berakhir di bui. Ahok yang sadar betul uang itu untuk kesejahteraan rakyat banyak menjadi marah besar. Marah bukan karena kepentingan dirinya tapi ketidakjujuran yang nyata. Emangnya ini uang nenek moyang yang bisa dipakai seenaknya, ucap Ahok dengan gaya khas nya, namun tak cocok dibanyak telinga. Juga kisah Pergub tentang kesehatan yang anggarannya terlambat turun enam bulan karena proses politis. Tenaga medis sempat mengeluhkan hal ini. Anggaran turun, tenaga medis harus dibayar. Luar biasa, Pergub yang berbunyi anggaran dapat digunakan berlaku surut, ada tambahan kata tidak berlaku surut. Yang ajaib dokumen asli jelas berlaku surut, tapi hasil kreasi para kreator menjadikan tidak berlaku surut, dengan penjelasan; Itu normatif dan bahwa anggaran tetap berlaku surut. Kata ‘tidak’ menjadi tak bermakna. Staf Ahok tampaknya belajar dari ayat tembakau yang dulu ramai di DPR. Ahok sering murka pada bawahannya. Wajar bukan? Karena ini menyangkut hajat banyak rakyat Jakarta. Jebakan Batman buat Ahok tampak jelas. Jadi kalo Ahok murka sudah semestinya, malah aneh jika dia tak marah karena itu hanya akan membuktikan dia ikut bermain didalamnya. Jadilah Ahok musuh bersama dari luar dan dalam. Semua yang punya kepentingan menjadi gelisah, marah dan membalas dengan cara menampilkan Ahok pemarah tak cocok jadi pemimpin. Sebetulnya skenario biasa, hanya saja tampaknya kita tak terbiasa dengan ‘sikap apa adanya’ Ahok, dibanding dengan ‘sikap ada apanya’ lawan Ahok. Ahok tak merengek didepan media bahwa dia dijolimi oleh bawahannya. Ahok meradang dan berteriak, dan mengupload kegiatan di Balai Kota, supaya semua orang tahu apa yang terjadi dan bersama bisa membenahi.

Nikmati #SUP Lainnya: Nge #SUP Bareng AHOK

Satu juta KTP dari Teman Ahok menjadi bukti nyata. Ahok membuka diri siapa dia, bekerja profesional, menghargai pegawai DKI yang benar dengan peningkatan kesejahteraan, tapi memecat mereka yang malas apalagi korupsi. Ahok memang tak memilih kata untuk diucapkannya dan acap kali telinga memerah dibuatnya. Mengapa? Karena kita mengenalnya dari jarak jauh. Cobalah duduk dan ngobrol-ngobrol dengannya, kata-kata yang keras tetap meluncur tapi hasilnya kita tertawa. Tapi yang terpenting dia menyadari kekurangannya dan belajar untuk semakin lebih baik lagi. Ah, saya rohaniawan juga punya kelemahan dan terus belajar. Dia memang banyak marah karena banyak masalah dan budaya kerja yang self oriented, tapi tak serta merta boleh disebut dia pemarah.

Itu dulu #SUP (SUdut Pandang) dari saya yang terinspirasi Lae Denny Siregar yang senang menyeruput kopi. Salam Damai.

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *