Pdt. Bigman Sirait
Kepahitan dan kegetiran hidup seringkali disalaharti oleh umat. Kesusahan dalam menjalani hidup tidak sedikit dianggap orang sebagai bentuk Tuhan lalai mengasihi, atau lebih parahnya lagi dianggap kutukan dari Tuhan. Meski tidak sepenuhnya benar, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kesimpulan seperti itu memang ada dan nyata. Pertanyaannya adalah, apakah tidak ada sedikitpun niatan orang kemudian untuk sedikit bertanya pada Sang Empunya hidup. Padahal dengan bermodalkan tunduknya lutut dan air mata, Allah pun sesungguhnya sudah mengerti bahasa dan maksud.
Tidak hanya ada pada umat masa kini. Jauh dua ribu tahun lampau, seorang rasul besar sekaliber Petrus pun melakukan hal yang tidak jauh berbeda. Rasa “simpati” Petrus terhadap penderitaan yang akan dialami Yesus justru menunjukkan ironi besar dalam diri Petrus. Bermula dari pengakuan Petrus dalam menjawab lontaran pertanyaan gurunya: “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” (Mat 16:13). Dijawab dengan jelas lagi lugas oleh Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” (Mat 16:16). Sebuah jawaban yang tepat, pengakuan yang luar biasa besar, pengakuan yang hebat dalam Alkitab. Namun teramat sangat disayangkan, pengakuan hebat itu ternyata tidak dilandasi oleh pengenalan Petrus yang mendalam. Inkonsistensi Petrus dalam pernyataannya terlihat jelas pada penrnyataan-pernyataan berikutnya. Karena tidak lama seusai Yesus berbicara tentang kepahitan, kegetiran, hingga penyaliban yang menyedihkan. Ada respons berbeda dari Petrus. Sebuah tanggapan yang menunjukkan besarnya inkonsitensi pengenalan Petrus terhadap Kristus Sang Mesias itu. “Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia, katanya: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.”(Mat 16:22)
Besar kemungkinan di benak para murid, terkhusus Petrus, kalau Yesus betul-betul harus mati, berarti mereka akan kehilangan sesuatu yang sangat penting. Rasa gundah gulana berkecamuk di diri setiap murid mendengar bahwa Yesus akan ditangkap dan dibunuh. Meski ada kata-kata bahwa Yesus akan dibangkitkan, namun tak sedikitpun tersirat bahwa murid mengindahkan. Pikiran bahwa, kalau ini terjadi alangkah menyakitkannya, alangkah sulit dan beratnya dilalui lebih mendominasi. Menjadi sesuatu yang sangat mengerikan, karena sosok guru yang dikagumi akan mengalami kematian. Semakin sulit dibayangkan jika soliditas kelompok kecil ini kemudian akan porak-poranda lantaran sang Rabi, Guru, sang Mesias Anak Allah, seperti disebut Petrus itu akan mati. Tidak berlebihan sebenarnya, karena memang seperti dalam konsep Yahudi, Mesias adalah seorang pemenang, dalam pengertian yang sangat militeristik. Menang dalam arti kata mengalahkan orang-orang Roma yang menindas mereka. Menang dalam arti kata memutarbalikkan kekuatan dan pengaruh dari para ahli taurat. Tetapi, sekarang Yesus justru berkata, bahwa Ia akan ditangkap, diadili dan dibunuh.
Melonjak semacam kebingungan di batin para murid. Dalam kondisi seperti ini Petrus dengan segera menyambar, coba meluruskan persoalan, memberikan pendapat dengan berkata: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.” Sebuah simpati menarik, agar penderitaan Sang Guru tidak benar terjadi, apalagi berlarut-larut hingga berubah menjadi kekecewaan yang luar biasa. Sangat simpatik memang, sebuah respons yang dipenuhi dengan pikiran manusiawi, keduniawian tentang kesulitan dan keterpojokan. Tetapi sangat disayangkan, Petrus tidak melihat ada segi-segi lain yang perlu juga ditilik dan pikirkan. Misalnya tentang maksud atau tujuan kesulitan yang akan Yesus hadapi. Apakah itu adalah sebuah keharusan? Jika memang benar itu adalah rencana Bapa, kehendak Bapa, lalu apa yang menjadi masalah bagi Petrus.
Bagi Petrus rupanya hal ini menjadi masalah serius, masalah berat, yang harus dipersoalkan. Mengingat akibatnya yang penuh dengan kengerian dan kegentaran yang sangat menyakitkan. Pemilik nama Kefas ini tidak lagi hendak bertanya, apa yang menjadi rencana Allah Bapa atas semuanya. Dia enggan bertanya haruskah itu dialami. Sangat menyedihkan, sikap simpati Petrus justru menimbulkan reaksi yang cukup mengejutkan dari Yesus dengan berkata:”Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”(Mat 16:23). Ironis memang. Bagaimana mungkin Petrus yang baru saja bicara bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup, dalam waktu yang tidak berjauhan sudah disebut setan. Sangat menyedihkan.
Bukankah ini adalah pembelajaran penting yang seharusnya menjadi ingatan di setiap diri umat, pun hamba Tuhan. Maka kalau ada Pendeta yang menganggap diri paling suci, paling hebat, maka sisnisme terhadapnya akan segera timbul. “Wah, dia lebih hebat dari Petrus.” Karena itu kita tidak perlu heran jika ada orang yang hebat luar biasa, dalam bilangan jam atau bahkan menit, maka kemudian dia akan menjadi pendosa besar. Lalu orang kemudian akan bertanya, bagaimana mungkin ini bisa terjadi. Bagaimana mungkin seorang yang dikatakan benar dalam sekejap bisa dikatakan bersalah besar. Petrus rasul yang sebelumnya mampu menyatakan pengakuan iman besar, dalam waktu dekat justru berbuat sesuatu di luar iman, bahkan menyangkali dengan ketakutan yang ditunjukkan. Sederhana jawabnya, karena memang Petrus hanya memikirkan apa yang dipikirkan manusia, tetapi tidak memikirkan apa yang dipikirkan Allah.
Adalah benar jika Salib selalu menceritakan berbagai sikap yang beranekaragam di dalam kehidupan orang percaya di sepanjang jaman. Namun tidak sedikit orang yang kemudian berpikir Salib tidak lebih dari jawaban atas penyelesaian dari sebuah persoalan. Sakit akan langsung sembuh, miskin-kaya, susah-tertolong. Tanpa sedikitpun ambil tahu bagaimana cara Tuhan hendak menolong. Hasil, perubahan, tertolong menjadi orientasi dan hal yang dianggap lebih penting. Padahal yang jauh lebih penting adalah bagaimana kita dapat belajar Tuhan mau apa, Allah mau seperti apa. Maka menjadi menarik kalau yang dipikirkan adalah, ketika orang sakit, kalau kita sakit, orang Betawi bilang: “emangnya kenapa?” Apa benar Tuhan tidak menyintai umatnya hanya karena sakit? Terlebih penting adalah, kalau orang sakit dia bisa mengerti apa yang menjadi kehendak Tuhan dalam sakitnya. Bertumbuh atau tidak imannya ketika mengalami sakit. Sebab, untuk apa sehat kalau hanya untuk berbuat dosa? Bahkan alangkah indahnya sakit kalau itu dapat memuliakan Tuhan. Meskipun akan jauh beruntung jika kita sehat dan memuliakan Tuhan.
Salib sesungguhnya menggugat kualitas. Kuantitas bukan tak perlu, tapi kualitas tak boleh tergeser oleh kuantitas. Karenanya perlu benar mengerti apa yang menjadi kehendak Allah dalam seluruh perjalanan hidup. Setiap orang harus terpanggil untuk menyadari hal mendasar dari makna salib itu. Dengan itu niscaya tidak akan terjebak untuk menyelamatkan nyawa pribadi lalu meninggalkan Kristus Tuhan, padahal Kristus bisa memberi hidup di keterhilangan hidup kita. Harus mampu menyangkal diri, memikul salib-Nya dan mengikut Dia, seperti apa yang digugat dan dituntut oleh Sang Putera Maria. Kepahitan dan kegetiran sesungguhnya adalah jalan dan warna salib itu. Karena itu biarlah salib itu berwarna dan mewarnai hari-hari kita, mewarnai hidup dan tiap tindakan yang kita hadapi.
(Disarikan dari Khotbah Populer oleh Slawi)