Harry Puspito
(harry.puspito@yahoo.com)*
Setiap orang akan mengalami kehilangan dalam hidupnya, baik kehilangan sesuatu yang relatif kecil, besar sampai sangat besar yang menyebabkan orang merasa berduka karenanya. Kita bisa mengalami berbagai jenis kehilangan. Kehilangan yang paling umum adalah kehilangan yang konkrit, seperti kehilangan barang yang berharga, kehilangan orang yang dikasihi, kehilangan jabatan tertentu, dan sebagainya. Tapi kita juga bisa kehilangan sesuatu yang tidak konkrit, seperti kehilangan kepercayaan terhadap orang atau diri sendiri. Kita bisa membayangkan akan kehilangan sesuatu pada masa yang akan datang. Kita juga bisa terancam kehilangan sesuatu di masa yang akan datang, misalnya kesulitan-kesulitan ekonomi bisa mengancam kita kehilangan harta atau kendali atas perusahaan yang kita dirikan. Sebagai mahluk hidup maka berduka dalam segala tingkatan dan bentuknya merupakan respon yang normal ketika dia mengalami kehilangan sesuatu atau seseorang yang dia hargai atau telah menanamkan investasi emosional atasnya.
Pada tulisan yang lalu kita telah membahas respon yang umum terhadap kehilangan seperti dikonsepkan oleh Elisabeth Kubler-Ross sebagai tahapan “pengingkaran”,“marah”, “tawar-menawar”, “depresi” dan “penerimaan”. Sebagai orang beriman, bagaimana meresponi kehilangan dan menjalani “kedukaan” yang sehat? Pada umumnya Alkitab tidak memberikan resep-resep atau langkah-langkah untuk menghadapi berbagai persoalan atau untuk sukses namun memberikan contoh-contoh hidup dan dari kisah-kisah itu kita bisa menarik pelajaran-pelajaran. Kita bisa belajar dari kehidupan para tokoh dalam Alkitab yang penulis kisahkan secara positif bahkan dari Yesus sendiri yang mengalami kehilangan yang terbesar, yaitu hidup-Nya sendiri. Tokoh yang paling menonjol dalam kisah kehilangan sudah barang tentu Ayub, seorang yang sangat kaya, dengan keluarga yang bahagia dan hidup saleh tapi yang atas ijin Tuhan harus kehilangan semua miliknya dari harta, keluarga hingga kesehatannya.
Hati-hati dengan ungkapan-ungkapan klise atau prinsip-prinsip yang tidak benar yang sering dinasehatkan kepada mereka yang sedang berduka. Misalnya: Jangan bersedih! Berduka melemahkan imanmu! Selalulah bersikap positif! Orang percaya harus selalu bersukacita! Dalam kenyataannya kita sedang berduka karena kehilangan, katakan kehilangan orang kita kasihi. Dari Alkitab kita belajar Yesus berduka ketika Dia mendengar Lazarus yang Dia kasihi meninggal. Adalah normal kita merindukan orang yang kita kasihi dan menangis ketika dia dipanggil. Ini menunjukkan sifat seperti Kristus yang berbelas kasihan, kasih, empati dan prihatin kepada orang lain. Kita perlu memperhatikan emosi-emosi yang kita alami, dan tidak meredam. Kita bergumul dengan Tuhan dengan peristiwa yang terjadi. Dalam kebingungan, sikap iman kita adalah menunggu Dia bekerja dalam hidup kita (Mazmur 37:7).
Namun pada waktunya kita perlu menormalkan emosi-emosi yang bergolak dalam diri kita, seperti yang diteorikan Kubler-Ross orang bisa mengalami emosi mengingkari apa yang terjadi, marah terhadap apa yang terjadi, berusaha tawar-menawar dengan Tuhan, perasaan depresi atau menerima apa yang terjadi. Ini akan bervariasi dari orang ke orang dan dari budaya ke budaya. Kita membawakan pergumulan emosi ini kepada Dia yang mengerti kita.
Kehilangan adalah bagian dari pembentukan Tuhan terhadap diri kita. Baik kita mempertanyakan kepada Tuhan apa yang saya bisa belajar dari peristiwa ini? Bagaimana yang akan melanjutkan hidup saya tanpa orang yang saya kasihi itu? Dalam proses yang alami kita tahu kehilangan akan menciptakan duka dalam diri kita tapi juga titik tertentu kita akan mengalami pemulihan. Sebagai orang percaya, kita semestinya menjadi semakin “kuat” ketika kita dipulihkan.
Pada akhirnya kita harus menerima apa yang terjadi dan percaya bahwa itu adalah yang terbaik, termasuk untuk kita yang kehilangan. Kita sudah tidak bisa mengubah apa yang terjadi, atau mengundurkan apa yang terjadi. Kehilangan adalah bagian penting yang harus kita alami dari waktu ke waktu untuk memurnikan dan mendewasakan iman kita. Ketidak-berdayaan terhadap kehilangan menyadarkan kita betapa kita sangat bergantung kepada Tuhan dan menjadikan kita rendah hati, suatu sifat yang diinginkan dan dicontohkan Tuhan sendiri dalam kehidupan-Nya di dunia.
Akhirnya kita harus bangkit kembali dan memuji Dia sebagai Allah yang Mahakuasa, yang berkuasa atas segala sesuatu, atas hidup kita dan hidup orang-orang yang kita sayangi. Bagaimana dalam kedukaan kita bisa memuji Tuhan dengan tulus? Hanya dengan kuasa-Nya yang mampu bekerja di dalam diri kita, yang memungkinkan kita melakukan ini (Lihat Filipi 2:13). Biarkan pengalaman kehilangan ini, seperti dialami oleh Ayub, pada akhirnya memberkati kita, dan mempertemukan kita lebih dekat dengan Dia. Tuhan memberkati!