Gembala Di Malam Natal Pertama

Pdt. Bigman Sirait
Follow Twitter: @bigmansirait

Dari tahun ke tahun, dari abad ke abad, Natal selalu dirayakan sebagai hari lahir Yesus Kristus, juru selamat umat manusia. Namun, di tengah semarak dan hingar-bingar perayaan Natal masa kini, adakah yang menerawang ke masa silam – ke malam Natal yang pertama, saat Sang Bayi Agung itu terbaring di palungan?

Di malam Natal pertama, gembala mendapat kehormatan yang luar biasa. Sebab kepada merekalah kabar baik itu disampaikan untuk pertama kalinya oleh malaikat surga. Tetapi, kenapa harus gembala? Gembala, dari dulu hingga sekarang, adalah profesi yang tidak bergengsi. Bahkan di era itu, para ahli Taurat menorehkan status sebagai orang berdosa kepada gembala.  Ahli Taurat mendiskualifikasi gembala dari agama. Mereka disebut sebagai orang berdosa, karena memang ada gembala yang tidak jujur: dipercaya menggembalakan 100 ekor domba, namun yang kembali ke kandang 98 ekor. Kepada majikan mereka mengaku bahwa domba yang hilang itu dimangsa serigala. Gara-gara itu, gembala didiskriminasi, dipukul rata. Maka, siapa pun yang menjadi gembala, kepahitan, kepedihan, ketersingkiran, adalah bagiannya. Mereka tidak punya nilai.

Dari segi duniawi, gembala sebenarnya tidak berhak mendapatkan kesukacitaan itu. Mereka bukan orang-orang yang berjasa kepada bangsa dan negara. Mereka adalah orang-orang lugu, sederhana, awam, yang berbicara spontan, apa adanya. Berbeda dengan orang-orang pintar, pejabat, pemimpin, politikus, yang sering berbicara bukan lagi dengan suara hati, tapi kepalsuan.

Ketika berita Natal disampaikan kepada para gembala, bersukacitalah mereka. Sungguh tidak pernah dibayangkan kalau berita surga akan datang pertama kali kepada mereka. Di malam Natal yang pertama itu, mereka mendapatkan penghargaan justru di dalam kehinaan. Bagaimana bukan suatu penghargaan? Ahli Taurat saja sudah men-stempel mereka sebagai orang-orang berdosa. Tetapi Bapa Surgawi turun ke bumi menemui mereka, memberi kehormatan luar biasa sebagai tamu pertama untuk mengunjungi perayaan Natal yang sejati, di mana bayi kudus itu datang untuk memberi keselamatan dan pengharapan bagi umat manusia.

Dalam konteks masa kini, banyak orang mengulang kesalahan dan kegagalan para ahli Taurat, yang terlalu mudah menjatuhkan vonis: memukul rata semua orang, mengutuk semua orang, sementara dia sendiri tidak pernah memeriksa diri sendiri. Berbahagialah gembala yang dicap berdosa oleh ahli Taurat, sebab mereka masuk sorga. Sungguh kasihan para ahli Taurat yang selalu berkata-kata indah, suci, namun perilakunya menyimpang dari tuntutan surga. Mereka harus ke neraka dan beroleh kebinasaan. Mereka merasa hebat sehingga berhak menghakimi orang lain dalam kekuasaan keagamaan yang mereka miliki. Orang yang berkuasa dalam keagamaan memang bisa tampil mengerikan. Sebab tanpa sadar dia mengkudeta jabatan Tuhan, dan menjadikan dirinya sebagai Tuhan. Tidak bisa berkuasa sebagai presiden, maka berkuasalah dia sebagai pemimpin agama, yang memuaskan diri dengan ucapan semau-maunya, mengatasnamakan Alllah, padahal semuanya palsu.

Ahli Taurat menyingkirkan para gembala, tetapi Tuhan mengangkat harkat mereka dengan penghormatan yang luar biasa. Agama menyisihkan mereka, menempatkan mereka pada status yang mengerikan. Mereka bukan saja tidak terpandang, tetapi juga terbuang karena dianggap penuh dosa. Mereka memang bukan apa-apa, tetapi di malam Natal, mendapat anugerah di dalam ketidaklayakan mereka.

Di sini Allah menunjukkan bahwa Natal menyentuh lapisan yang tidak terbayangkan oleh struktur pikir manusia. Natal menyentuh kehinaan. Natal menyentuh  kesendirian. Natal menyentuh keterpurukan dan keberdosaan. Natal menjangkau apa pun yang tidak terjangkau oleh agama. Natal bukan sebuah lukisan pesta pora dengan sejuta tata cara yang menghabiskan biaya besar. Natal adalah suatu cara bagaimana berbagi rasa supaya sukacita menjadi milik semua orang. Natal seharusnya bisa mampir pada setiap orang, sehingga mereka yang terpuruk, tersisih dan tersingkirkan memahami makna itu dan menerima anugerah itu.

Bagaimana kita menyikapi Natal? Apakah kita masih menyambutnya seperti yang dulu-dulu? Repot hanya sekadar memikirkan baju baru/hadiah bagi anak-anak: membungkus dalam kado dan menaruhnya di bawah pohon Natal. Memberi atau mendapat hadiah, tentu saja bukan sesuatu yang salah, tetapi ketika konsentrasi tertumpuk di sana, itu menjadi masalah. Lebih celaka lagi jika kita masih bertumpu pada kebingungan-kebingungan  mengumpulkan dana Natal, pertikaian antarpanitia Natal. Aneh sekali, sebab tindakan kita tidak mengekspresikan nilai kesukaan, pengabdian pelayanan kepada Tuhan, tetapi terperangkap pada jebakan-jebakan yang menakutkan, berbayang noda-noda dosa.

 Di mana sukacita Natal itu? Di mana bahagia Natal itu? Bagaimana mungkin Natal diwarnai orang-orang munafik yang menampilkan diri dengan sejuta senyuman, tetapi di dalamnya penuh kepalsuan, sementara Natal menuntut kesejatian. Karena itu Natal tidak terlalu perduli dengan struktur agama. Natal pertama tidak datang pada ahli Taurat dan pemimpin agama. Natal justru datang pada orang-orang susah, lugu, yang mengutarakan isi hati secara spontan, tanpa basa-basi.

Oleh karena itu, adalah penting untuk menanyakan apa sebetulnya makna Natal bagi kita. Apakah Natal merupakan sebuah demonstrasi, menceritakan pada orang lain betapa banyaknya harta kita? Menghiasi rumah secara luar biasa, memasang pohon-pohon Natal, menyelenggarakan acara, memang tidak salah. Yang menjadi masalah adalah, apakah Natal itu hanya di rumah atau sekitar rumah kita saja? Bagaimana dengan orang lain yang tersisih, yang banyak kita jumpai di sekitar kita. Apakah mereka tidak berhak menikmati sukacita kita,  berbagi rasa dengan mereka, seperti surga berbagi rasa dengan gembala. Di mana kepedulian kita? Mungkin kita perduli, namun apakah melakukannya hanya pada Natal Desember?

Jika seperti ini yang terjadi, berarti Natal itu telah mengurung kita secara ketat. Sebab dia hanya berkisar pada tanggal 25 Desember saja. Lalu bagaimana dengan hari-hari sesudah atau sebelumnya? Adakah sukacita itu tetap sama, sehingga membuat kita bukanlah orang-orang yang terjebak pada perangkap musiman: musim Natal, musim berbuat kebaikan, tidak ada Natal, tidak ada kebaikan? Pertanyaan ini perlu kita renungkan di malam Natal ini.

Recommended For You

About the Author: Reformata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *