
Terdengar banyak cerita yang menggembirakan, Injil Kristus diberitakan kepada banyak orang. Api pelayanan ini membakar jiwa untuk melayani. Inilah yang dialami Bonifasius dimasa kecil, saat rumahnya menjadi tempat bagi para misionaris untuk menginap. Terbersit mimpi dan kerinduan untuk melakukan hal yang sama, jika besar nanti. Tuhan ternyata menuntunnya ke arah yang sama.
PANGGILAN SEBAGAI MISIONARIS
Setelah beranjak dewasa, Wynfrith nama masa mudanya, Ia belajar di biara Benediktin, sebuah biara di Nursling. Wynfrith adalah siswa yang sangat baik dan ingin menjadi “peziarah bagi Kristus”. Beberapa tahun kemudian, dirinya menjadi seorang guru yang populer. Setelah ditahbiskan menjadi seorang imam, kemudian dirinya menjadi seorang pengkhotbah yang luar biasa.
Ketika usianya hampir 40 tahun, dengan semangat misionaris untuk menjangkau orang-orang yang tersesat, Ia berlayar pada tahun 716 ke Frisia, wilayah pesisir di sepanjang Laut Utara yang saat ini meliputi sebagian Belanda dan Jerman. Tepatnya pada Mei 719, saat menerima penugasan resmi dari Paus Gregorius II untuk menginjili orang-orang kafir, menjadi misionaris di Jerman Barat. Pada saat yang sama Wynfrith menerima nama barunya: Bonifasius, yang berarti “yang mujur”.
Bonifasius, pribadi yang lemah lembut dan pemberani. Ia ingin semua orang bisa mengenal dan mengasihi Yesus. Di sana, Ia berkhotbah dan berhasil mempertobatkan banyak orang. Dari tahun 719 hingga 722, Bonifasius bekerja di antara orang-orang Frisia dan ditahbiskan menjadi uskup oleh Gregorius II. Ia diberi tugas kepausan yang luas untuk memberitakan Injil kepada orang-orang di sebelah timur Sungai Rhine. Pada tahun 723, Bonifasius mengunjungi istana Frank dan berada di bawah perlindungan penguasa Frank, Charles Martel (“Sang Palu”). Setelah mendapatkan perlindungan Charles, dan dengan berbagai surat resmi kepausan yang ditujukan kepada para kepala suku setempat, Bonifasius berangkat ke wilayah Thuringia dan Hesse di Jerman bagian tengah timur. Ini menjadi ladang misi Bonifasius selama lima belas tahun berikutnya.
KEBERANIAN BONIFASIUS
Suatu hari, di tempat yang disebut Gaesmere [atau Geismar], Hesse (Jerman Barat), Bonifasius menebang pohon Ek Thor yang luar biasa besar, yang disebut, dengan nama lama orang-orang kafir, Pohon Ek Jupiter [terjemahan Latin dari Thor]. Untuk membuktikan bahwa menyembah berhala adalah hal yang sia-sia. Melihat Bonifasius tidak mengalami kejadian apa-apa setelah menebas pohon yang dianggap sebagai dewa mereka, para kafir itu menyadari bahwa dewa yang mereka sembah itu tidak pernah ada. Mereka yang sebelumnya mengutuk, kini sebaliknya, percaya, memuji Tuhan, dan menghentikan cercaan mereka sebelumnya. Kemudian, Bonifasius membangun sebuah kapel kayu dari kayu pohon itu, dan mendedikasikannya untuk menghormati Santo Petrus sang rasul. Dimanapun Bonifasius berkhotbah, ia berhasil membawa kembali banyak orang ke pangkuan gereja, bahkan Bonifasius mengganti semua patung berhala dengan gereja dan biara.
Meskipun ia berharap untuk menginjili orang-orang kafir, sebagian besar pekerjaannya bersifat institusional, politik, dan pastoral. Ia berkorespondensi dengan para pemimpin Kristen, mengelola perselisihan (beberapa di antaranya disebabkan oleh dirinya sendiri), menindaklanjuti orang-orang yang telah bertobat, dan membantu mendirikan banyak biara (yang paling terkenal adalah biara Fulda yang didirikan oleh muridnya, Santo Sturm, pada tahun 744).
Bonifasius, gambaran pria yang penuh semangat, penuh aksi, dan seringkali penuh frustrasi. Ia selalu terganggu oleh standar Kristen yang longgar di antara orang-orang Frank, sementara pada saat yang sama menyadari bahwa ia tidak memiliki harapan untuk pelayanan yang sukses tanpa dukungan politik dan pembelaan dari istana Frank. Bonifasius menghabiskan sebagian besar hidupnya di Jerman untuk berkhotbah, membaptis, dan melakukan pekerjaan yang lambat dalam mengajarkan kepada orang-orang bentuk Kekristenan yang lebih ketat dan lebih ortodoks.
Pada tahun 753, Bonifasius, yang berusia 70-an, sekali lagi berangkat ke wilayah pesisir Frisia. Sepanjang musim gugur, musim dingin, dan hingga musim semi berikutnya, Bonifasius dan para pengikutnya bekerja keras untuk mengkonversi dan membaptis orang-orang Frisia. Pada tanggal 5 Juni 754, ketika rombongan tersebut berkemah di pantai Frisia—jauh di luar perlindungan kekuasaan kerajaan Frank—suatu tragedi terjadi ketika Ia sedang mempersiapkan penguatan bagi orang-orang yang mau bertobat. Tiba-tiba saja sekelompok prajurit datang menyerang Bonifasius dan pengikutnya. Meski dalam keadaan bahaya, Bonifasius tetap mengingatkan untuk membalas kejahatan dengan kebaikan. Bonifas dan anak buahnya diserang oleh perampok dari laut. Tidak diragukan lagi, mereka adalah jenis gelandangan yang sering menargetkan biarawan dan misionaris sebagai mangsa muda, yang membawa banyak harta rampasan tetapi minim persenjataan.
Bonifasius pun berkata, “Telah tibalah hari yang telah lama kunanti-nantikan. Percayalah kepada Tuhan dan Ia akan menyelamatkan kita.” Para prajurit kafir itu pun tidak peduli dan tetap menyerang. Bonifasius adalah orang pertama yang terbunuh dengan kepalanya yang dibelah dengan pedang. Bonifasius pun wafat sebagai martir pada tanggal 5 Juni 754 di Dokkum Freisland (Belanda) dan ia dimakamkan di biara yang ada di Fulda, Jerman sesuai dengan permintaannya.
KESETIAAN HINGGA AKHIR
Meskipun teladan Bonifasius memobilisasi generasi misionaris sepanjang Abad Pertengahan, Richard Fletcher menunjukkan bahwa “Bonifasius sebenarnya hanya menghabiskan sedikit waktu dalam hidupnya bekerja di antara orang-orang yang benar-benar kafir.” Separuh pertama kariernya dihabiskan di Inggris sebagai mahasiswa, guru, dan cendekiawan. Kemudian selama separuh kedua kariernya, tinggal di antara orang-orang Frank, Bonifasius terutama bekerja sebagai pembaharu bagi mereka yang baru bertobat dan sebagai pembangun lembaga-lembaga gerejawi. Ia memperkuat loyalitas dan tatanan Romawi; ia mengkristenkan kembali orang-orang yang secara nominal beragama Kristen; ia mereformasi dan merevitalisasi gereja-gereja Frank. “Ini adalah pencapaian yang luar biasa,” kata Fletcher, “tetapi bukan hal-hal yang Bonifasius sendiri ingin dikenang karenanya.”
Karya utamanya adalah reformasi dan revitalisasi. Ia selalu terlibat dalam masalah-masalah organisasi dan isu-isu politik kekuasaan. Meskipun demikian, Bonifasius memberikan kesaksian tentang Kristus di mana pun ia bisa—bahkan dengan mengorbankan nyawanya.
Bonifasius dikenang karena kapaknya. Keberhasilan Bonifasius diraih berkat puluhan tahun pengabdiannya dalam menyebarkan Injil, membimbing orang Kristen, membangun biara dan keuskupan, memupuk kesucian pribadi, mengatasi konflik, dan terus bekerja keras. Itulah pilihan yang Bonifasius pilih untuk hidup dan melayani.
Santo Bonifasius terlahir di Wessex, Inggris sekitar tahun 680 M dan meninggal pada tanggal 5 Juni 754 di Dokkum, Frisia (sekarang Belanda) sebagai seorang martir.
Santo Bonifasius memiliki peran penting dalam penyebaran agama Kristen di Jerman dan memiliki pengaruh besar dalam pembentukan tradisi Natal di Eropa. Salah satu contoh adalah penggunaan pohon Natal, yang diyakini berasal dari tradisi Jermanic yang dipengaruhi oleh Santo Bonifasius.
Kisah Santo Bonifasius menuntun kita melihat karya Allah yang ajaib menuntun setiap orang yang dipilihNya untuk menjalankan misiNya. Banyak cara yang dipakai Allah untuk menyertai setiap hamba-hamba-Nya dalam menjalankan tugas dan panggilan-NYA. Cara mati bukanlah yang menjadi fokus kita, melainkan kematian yang menjadi kesaksian tentang kesetiaan membritakan kabar sukacita. Ini adalah perkenanan Allah bagi setiap orang yang dikehendaki-NYA.
(Dikompilasi dari berbagai sumber)