
Masa depan seseorang terlihat dari apa yang dilakukan sekarang atau saat ini, bukan nanti. Itulah yang bisa dilihat dari sosok putra bangsa, Todung Sutan Gunung Mulia. Dibesarkan dari ayah seorang guru dan menginspirasi Mulia ingin menjadi guru. Dibentuk dalam keluarga batak bangsawan Kristen yang mengakar teguh, dan senang membaca buku atau belajar. Inilah menghantar Mulia mencintai Pendidikan. Walau Indonesia dalam masa penjajahan, namun oleh kasih karunia Tuhan, pria kelahiran Padang Sidempuan, 21 Januari 1896 ini dapat mengecap pendidikan yang baik di Belanda. Kecerdasannya telah terlihat sejak kecil, terbentuk oleh didikan orang tua yang serius beragama. Dari sinilah Mulia mengukir jejak karyanya.
Jejak Prestasi dan Karya
Dengan mengawali sebagai lulusan sekolah pedagogi Universitas Leiden pada usia 23 tahun, Mulia langsung kembali ke Indonesia dan menjadi guru di SD Bengkulu, kemudian di Sipirok, Juga di Simalungun. Pada tahun 1922, ketika Mulia baru berusia 26 tahun, ia pindah ke Jakarta karena diangkat menjadi anggota Volks Raad (Dewan Rakyat). Berlanjut di tahun 1928, Mulia menjadi kepala redaksi surat kabar Kristen Zaman Baroe. Surat kabar itu memuat tulisan-tulisan yang memperluas wawasan iman dan meningkatkan rasa tanggung jawab bergereja dan bermasyarakat.
Pada usia 33 tahun Mulia bersekolah lagi di Belanda. Hanya dalam waktu empat tahun ia meraih gelar Doktor Antropologi di Vrije Universiteit Amsterdam dan sekaligus lulus Meester in de Rechten di Universiteit Leiden. Sekembalinya di Indonesia Mulia diangkat lagi menjadi anggota Dewan Rakyat. Meskipun statusnya adalah wakil umat Kristen, namun ia menegaskan, “Tugas saya bukan hanya membela kepentingan golongan Kristen, melainkan kepentingan seluruh rakyat.”
Setelah kemerdekaan, kabinet parlementer terbentuk pada bulan November 1945. Mulia menjadi Menteri Pendidikan. Ia memajukan sistem yang menanamkan nilai-nilai rasional, demokratis, dan nasional. Mulia menjadi sosok menteri yang sederhana, tiap hari ia bersepeda ke kantornya karena ia tidak memiliki mobil. Dan pada tanggal 20 Oktober 1966 dengan Verkuyl sebagai promotor, Mulia dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa oleh Vrije Universiteit di Amsterdam
Jejak karya Mulia semakin terang tak hanya memikirkan bangsa namun membangun korelasi hidup antar gereja dan bangsa. Menjawab kebutuhan dan tantangan zamannya, serta mendorong umat Kristen untuk terlibat aktif dalam pembangunan bangsa. Jika akhirnya Mulia dikenal sebagai teolog kontekstual, oleh karena pemikirannya berpusat pada iman Kristen yang relevan dan berdampak dalam konteks Indonesia. Khususnya dalam menghadapi isu-isu sosial, politik, dan pendidikan.
Peduli Pendidikan dan Pekabaran Injil
Mulia yakin bahwa perannya sebagai anggota Dewan Rakyat adalah juga dalam rangka pekabaran Injil. Tentang pekabaran Injil ia menulis, “Kita mendapat dari Kristus … pedoman kehidupan. Tujuan pekabaran Injil adalah membentuk tabiat manusia supaya bersifat seperti Kristus dalam kehidupan dan pergaulan….”
Apa yang menjadi prinsip Mulia, membangun keprihatinanya pada mutu pendidikan di Indonesia. Itu diwujudkan melalui mengunjungi sekolah-sekolah di Jakarta dan pedalaman Sumatra untuk menatar para guru. Bahkan Mulia dan Kraemer memprakarsai persiapan pembentukan sebuah sekolah yang bermutu untuk mendidik calon pendeta. Gagasan itu terlaksana pada tahun 1934 dengan pembentukan STT Jakarta. Mulia berkata, “Para pendeta perlu berpengetahuan akademik dan berjiwa nasionalis.”
Mulia berdalil, “Sebuah bangsa hanya bisa maju kalau sekolah-sekolahnya bermutu. Demikian pula gereja hanya bisa maju kalau umatnya suka membaca buku.”
Untuk jasanya meningkatkan mutu para guru, Mulia dianugerahi bintang Officier der Orde van Oranye Nasau, salah satu bintang kehormatan yang tertinggi dalam pemerintahan penjajah Belanda.
Tentang nasionalisme, Mulia sering memperbaiki anggapan yang keliru. Tulisnya, “Kelirulah anggapan bahwa menjadi Kristen berarti memeluk agama orang Eropa dan menjadi seperti orang Eropa. Kita tetap Indonesia!”
Mulia juga menulis, “Orang Kristen Indonesia adalah bagian tak terpisahkan dari bangsa Indonesia yang mencintai tanah air Indonesia. Iman Kristen mengajarkan kita untuk bersikap adil, lurus, cinta, dan setia pada bangsa dan negara Indonesia.”
Mulia juga bekerja sama di bidang penerbitan buku untuk pembinaan iman dengan Johannes Verkuyl yang tiba di Indonesia tahun 1940. Gagasan ini kemudian terwujud dengan pembentukan Badan Penerbit Kristen pada tahun 1946. Untuk menghormati jasa-jasa Mulia, atas saran Verkuyl pada tahun 1971 BPK melengkapi namanya menjadi BPK Gunung Mulia (lih. “Johannes Verkuyl” di Selamat Berbuah).
Mulia bersama Leimena dan beberapa pemikir lain mempersiapkan pembentukan satu wadah tunggal persekutuan semua gereja Protestan di Indonesia. Setelah persiapan matang selama sebelas tahun, pada tanggal 25 Mei 1950 di Aula STT Jakarta terbentuklah Dewan Gereja Indonesia (DGI) yang kini bernama Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Todung Sutan Gunung Mulia menjadi ketua umumnya yang pertama.
Pada 1953, Mulia bersama Philip Sigar dan Yap Thiam Hien mendirikan Universitas Kristen Indonesia. Setahun kemudian, pada 9 Februari 1954, Mulia bersama Giok Pwee Khouw dan Elvianus Katoppo meresmikan berdirinya Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) yang sebenarnya sudah berfungsi sejak 1814 dalam bentuk cabang pembantu Lembaga Alkitab Inggris/ Belanda. Di LAI, Todung Sutan Gunung Mulia merupakan Ketua Umumnya yang pertama. Saat impor Alkitab dari luar negeri dilarang oleh Presiden Soekarno, Mulia memikirkan perlunya LAI memiliki percetakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan Alkitab dan bacaan-bacaan rohani umat kristiani di Indonesia. Tepatnya, pada 9 Februari 1966, Percetakan LAI di Ciluar, Kabupaten Bogor selesai dibangun dan diresmikan oleh Ibu Hartini Soekarno, mewakili Presiden RI.
Ketekunan kerja Mulia tampak pula dalam kinerjanya menjadi editor Ensiklopedia Indonesia. Setelah beberapa tahun berjerih lelah bersama Hidding dari Universitas Leiden, terbitlah pada tahun 1956 tiga jilid lengkap terdiri atas 1.600 halaman. Penerbitan ini menjadi tonggak sejarah perbukuan Indonesia. Mulia juga menulis beberapa buku.
Mulia melakukan berbagai kiprahnya tersebut di atas sebagai panggilannya untuk menerangi umat gereja dan rakyat Indonesia. Hati dan akal budi kita perlu diterangi. Apa yang masih keruh dan belum gamblang perlu diterangkan. Apa yang masih kelam dan belum jelas perlu diterangi. Kita punya tugas untuk menerangi dan menerangkan. Kristus berkata, “Kalian adalah terang dunia … terangmu harus bersinar di hadapan orang, supaya mereka melihat perbuatan-perbuatanmu yang baik, lalu memuji Bapamu di surga” (Mat. 5:14-16, BIMK). Mulia telah menerangi dan menerangkan. Itulah sumbangsihnya bagi gereja dan bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia bangga dan sangat berterimakasih bagi Todung Sutan Gunung Mulia, karena setiap jejak karyanya sangat memberkati bangsa ini. Tidak hanya menjadi seorang nasionalis namun berakar sebagai seorang Kristen bermutu dan berdampak oleh iman dan karya-karyanya. Todung Sutan Gunung Mulia wafat di Amsterdam 11 November 1966. Tujuh puluh tahun dalam anugerahNya menjadi saksi di tengah-tengah dunia. Dari Kristus terang itu datang, kepada Kristus terang itu pulang.
(Kompilasi berbagai sumber)