Pertanyaan
Bapak Pendeta, ada beberapa pengajaran tentang hidup sukses, makmur dan sehat, yang dianut oleh orang-orang Kristen saat ini. Mohon penjelasan bapak:
- Apakah yang dimaksud dengan teologi kemakmuran?
- Apakah orang percaya tidak boleh mengharapkan kemakmuran?
Terima kasih.
Ibu Tuti.
Jawaban
Pemahaman tentang pengharapan pertanyaan di atas, sering disebut dengan teologi sukses atau teologi kemakmuran (prosperity theology/prosperity gospel). Sejatinya tidaklah berlebihan jika orang percaya berharap kehidupannya berkecukupan, sehat dan kuat bahkan berlebihan untuk menjadi saluran berkat-Nya kepada sesama. Namun apakah itu yang menjadi tujuan setiap orang yang percaya terhadap Injil?
Munculnya pemahaman ini, dipromosikan oleh Gerakan Kharismatik yang hadir di beberapa denominasi arus utama hampir enam dekade lalu. Pada gilirannya diklaim oleh Gereja Kharismatik yang bermunculan di akhir dekade 80-an, sebagai bagian dari jati dirinya bahwa, “Orang yang dikenan Tuhan akan menjalani hidup yang makmur, sukses dan sehat.” Apakah orang percaya tidak boleh mengharapkan kemakmuran?
Mengharapkan kemakmuran sejatinya tidak salah, juga tidak berdosa. Lalu dimana salahnya sehingga ada banyak diskusi, seminar, buku yang memperingatkan orang percaya tentang bahayanya memiliki pemahaman ajaran teologi sukses ini? Sejatinya sukses, makmur dan sehat hanya sekedar alat seseorang untuk mewujudkan tujuan yang Tuhan sudah tetapkan dalam kehidupannya. Menjadi salah ketika sukses, makmur dan sehat menjadi tujuan hidup, sementara Tuhan yang memberikan tujuan menjadi sarana. Di sinilah kesalahan halus yang berujung fatal untuk diwaspadai! Tuhan sedang diperalat untuk meraih itu semua.
Berikutnya, bahwa iman orang ini tidak lagi bertumpu kepada Allah Khalik semesta, tetapi kepada materi ciptaan-Nya. Pengharapan imannya bertumpu kepada optimisme pikiran yang tamak ketimbang kepada janji-Nya bahwa, Dia tetap setia menyertai dalam situasi & kondisi yang tidak pasti. Lalu mengapa pemahaman teologi sukses dan penerapan Injil kemakmuran cenderung salah?
Pertama, Yesus dalam Khotbah di Bukit mengingatkan tentang tidak mungkin orang mengabdi kepada dua tuan (Tuhan & Mamon), sekaligus ajakan untuk mencari dahulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya (Matius 6:24; 34).
Kedua, Yesus memperingatkan untuk waspada terhadap ketamakan, karena kehidupan seseorang tidak bergantung pada kelimpahan hartanya (Lukas 19:15).
Ketiga, Paulus mengingatkan bahwa mereka yang ingin kaya, jatuh ke dalam pencobaan yang berujung kebinasaan karena akar segala kejahatan ialah cinta uang (1Timotius 6:9-10).
Kata sifat “cukup” dan “puas” tidak harus dikaitkan dengan kekayaan dan kesehatan. Banyak contoh dalam Alkitab yang mengusung kehidupan yang cukup dan puas tidak sejajar dengan kehidupan yang makmur dan sehat. Salah satunya janda di Sarfat yang merawat nabi Elia pada masa paceklik selama 3,5 tahun di Israel.
Di Perjanjian Lama, ada tokoh Ayub setelah menlalui penderitaan dan kesulitan, akhirnya mengalami perjumpaan dengan Tuhan (Ayub 42:5) dan di Perjanjian Baru, ada tokoh Paulus yang setuju bahwa hidup bahagia yang cukup dan puas, tidak serta merta harus sukses, makmur, kaya dan sehat. Mereka mampu mengatasi semua kesulitan karena kasih karunia Allah dalam Yesus itu cukup bagi mereka. Dan mereka pada akhirnya bersukacita dan puas karena Tuhan tetap peduli dan mengasihi mereka.
Jadi orang Kristen yang diurapi dan diberkati untuk menjadi saluran berkat-Nya tidak harus kaya dan sehat. Ketika hati & pikiran merasa cukup dan puas, mereka menjadi berkat-Nya!
Jika anda membutuhkan konsultasi teologi,
silakan mengirim pertanyaan ke sekretariat yapama WA: 0811-8888-804