Di zaman kekinian tidak jarang terlihat ada gereja-gereja dan hamba-hamba Tuhan yang berbisnis. Di satu sisi ada gereja yang melakukannya demi memenuhi kebutuhan operasional pelayanan. Sebagian hamba Tuhan melakukannya demi mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Di sisi lain, ada gereja maupun hamba Tuhan yang sudah mapan dan berkecukupan namun tetap berbisnis karena mungkin latar belakang pemimpin gereja atau hamba Tuhan tersebut adalah seorang pebisnis atau memiliki minat bisnis. Tulisan ini merupakan sudut pandang penulis tentang gereja dan hamba Tuhan yang berbisnis.
Segala pekerjaan yang bermoral adalah panggilan dari Tuhan. Setiap pekerjaan, termasuk bisnis, dapat dijalani sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan. Dapat dipahami ketika seorang hamba Tuhan terlibat dalam bisnis, terutama jika usaha atau pekerjaan tersebut dijalankan untuk mendukung pelayanan atau memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri tanpa mengandalkan sepenuhnya dukungan gereja.
Namun, patut diingat bahwa prioritas seorang hamba Tuhan adalah pelayanan. Jika bisnis mulai mengganggu fokus atau komitmen pada pelayanan, maka hamba Tuhan perlu mempertimbangkan kembali peran mereka dalam bisnis tersebut. Seorang hamba Tuhan seharusnya tidak terjebak dalam kesibukan bisnis hingga mengorbankan tugas utama menggembalakan jemaat dan pelayanan secara umum.
Catatan Alkitab perlu dilihat terkait pelayan dan pelayanan kepada Tuhan. Di Perjanjian Lama, Tuhan telah mengkhususkan suku Lewi untuk menjadi pelayan Tuhan (Bilangan 8:19). Suku Lewi tidak memiliki bisnis atau usaha sendiri. Hidup mereka fokus melayani Tuhan. Lantas bagaimana mereka bisa mencukupi kebutuhan hidup diri sendiri dan keluarganya? Suku-suku Israel lainnya memberikan persembahan persepuluhan dan persembahan lainnya guna mencukupi kebutuhan operasional pelayanan. Demikian pula kebutuhan hidup para pelayan Tuhan dan keluarganya dicukupkan oleh umat Tuhan.
Di Perjanjian Baru, ketika Tuhan Yesus memanggil murid-murid-Nya, mereka kebanyakan berprofesi sebagai nelayan. Ketika Tuhan Yesus memanggil mereka menjadi “penjala manusia” atau rasul, mereka segera meninggalkan jala mereka (Matius 4:20, 22). Artinya, mereka meninggalkan pekerjaan mereka sebelumnya, lalu melayani Tuhan dengan sepenuh waktu. Bahasa kekiniannya, menjadi “full timer” atau “full time minister”. Bagaimana mereka mencukupkan kebutuhan pelayanan dan hidup mereka? Tuhan mencukupkan melalui umat Tuhan yang dilayani oleh para pelayan Tuhan. Dalam 1 Korintus 9:14 tertulis, “Demikian pula Tuhan telah menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan Injil, harus hidup dari pemberitaan Injil itu. Ini adalah kondisi ideal.
Namun acap kali kondisi tidak ideal terjadi. Rasul Paulus menjadi tukang kemah untuk membantu membiayai perjalanan misi bersama tim pelayanannya (Kisah Para Rasul 18:3; 20:34). Bahkan dengan bekerja, hasilnya dapat digunakan juga untuk membantu orang-orang yang lemah (Kisah Para Rasul 20:35). Namun demikian, Rasul Paulus juga beberapa kali dicukupkan kebutuhan pelayanan dan dirinya oleh umat Tuhan (Filipi 4:16, 18).
Firman Tuhan memberi peringatan tentang sikap manusia terhadap uang. “Sebab, akar segala kejahatan ialah cinta uang dan karena memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai duka (1 Timotius 6:10). Peringatan ini berlaku bagi semua orang percaya. Tidak sedikit orang meninggalkan iman demi kekayaan. Banyak orang menjadi koruptor bukan karena kekurangan uang, tapi karena cinta dan memburu uang tanpa sadar batasnya. Ditambah lagi dengan semangat zaman yang semakin hedonistik dan materialistis membuat kesadaran orang akan batas kebutuhan hidup dan keinginan/gaya hidup semakin pudar.
Lebih lanjut Matius 6:24 menekankan, “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon”. Mamon dalam Alkitab berarti sesuatu yang materi seperti uang, harta benda, kekayaan duniawi yang menguasai seseorang dibandingkan dengan pelayanan kepada Allah. Ayat ini mengingatkan umat akan bahaya mengabdikan hidup kepada hal-hal yang bersifat materi dan bukan kepada Tuhan.
Jadi bolehkah gereja dan hamba Tuhan berbisnis? Tentu hal ini jangan disimplifikasi dengan sekadar dijawab boleh atau tidak boleh. Patut dipikirkan dan direnungkan sesuai kondisi masing-masing gereja dan hamba Tuhan. Idealnya, seorang hamba Tuhan melayani dengan sepenuh waktu dan fokus terhadap pelayanan. Seorang hamba Tuhan harus belajar mencukupkan diri dalam segala keadaan (Filipi 4:12) dan jangan menjadi hamba uang (Ibrani 13:5). Seorang hamba Tuhan yang memilih untuk berbisnis (jika aturan di gerejanya memang membolehkan hal tersebut) harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam ambisi materialistik atau cinta uang yang dapat dengan mudah mengalihkan hati mereka dari pelayanan.
Di sisi lain, gereja idealnya mencukupkan kebutuhan pelayanan dan kehidupan pelayan penuh waktu melalui persembahan umat Tuhan yang dikelola gereja. Gereja pada hakikatnya adalah lembaga non-profit yang tidak mengejar keuntungan, apalagi mendayaupayakan pelipatgandaan penghasilan. Uang yang dikelola gereja adalah untuk melaksanakan tritugas panggilan gereja yaitu koinonia (bersekutu), diakonia (melayani) dan marturia (bersaksi). Jemaat perlu memahami bahwa setiap pekerjaan atau usaha harus dilakukan “untuk kemuliaan Tuhan” (1 Korintus 10:31). Ini berarti baik jemaat sebagai pengusaha maupun pekerja harus berusaha dan bekerja sebaik-baiknya seturut nilai-nilai kristiani, dan menggunakannya untuk hal-hal yang memuliakan Tuhan. Termasuk untuk mendukung pekerjaan Tuhan dan membantu sesama yang membutuhkan.
Penulis mengetahui ada gereja-gereja di pedalaman ada yang memberikan ladang pertanian atau perkebunan untuk dikelola hamba Tuhan karena kemampuan gereja masih sangat terbatas untuk mencukupkan kebutuhan pelayanan dan hidup hamba Tuhan. Ada pula orang maupun lembaga yang memberikan bantuan bibit ternak maupun alat-alat pertanian dll kepada hamba-hamba Tuhan di pedalaman agar mereka dapat bertahan dalam hidup dan panggilan pelayanan di tengah keterbatasan. Dalam hal ini tentu dapat dimaklumi dan tidak perlu dikategorikan sebagai hamba Tuhan atau gereja yang berbisnis.
Semoga SUP (SUdut Pandang) ini menjadi pengingat dan menambah keluasan cakrawala pikir pembacanya, juga menggelisahkan nurani dan pada gilirannya dapat tercerahkan. Bagi gereja maupun hamba Tuhan, agar eling lan waspada untuk mengambil keputusan apakah berbisnis adalah sebuah pilihan dalam kebijaksanaan. Sila dibaca ulang, direnungkan dan dibagikan kepada sesama umat Tuhan yang setiawan. Soli Deo Gloria!