
Dalam rentang beberapa bulan terakhir, media sosial diramaikan dengan tagar “Kabur Aja Dulu”, sebuah ajakan untuk pergi ke luar negeri demi mencari kehidupan yang lebih baik. Bagi sebagian orang, ini adalah ekspresi kekecewaan terhadap situasi sosial-politik di Indonesia. Bagi yang lain, ini adalah strategi bertahan: peluang yang tidak ditemukan di negeri sendiri, lantas dicari di tempat lain. Adapula yang menilai bahwa orang yang mendukung tren fenomena sosial ini patut diragukan jiwa nasionalismenya. Bagaimana sebaiknya umat Kristen menyikapi fenomena ini?
Data Alkitab tentang “yang kabur” lalu diberkati
Fenomena “kabur” bukan hal baru. Dalam Kitab Suci, dapat ditemukan beberapa tokoh iman yang “pergi” dari tanah kelahiran mereka, bahkan dalam keadaan krisis. Yusuf, misalnya, tidak memilih Mesir secara sukarela. Ia dijual sebagai budak oleh saudara-saudaranya dan dibawa ke negeri asing (Kejadian 37). Namun dari situ, Tuhan memproses dan mengangkatnya menjadi orang kedua paling berkuasa di Mesir. Pergi ke negeri asing dalam konteks di sini bukanlah tanda kegagalan, tapi justru menjadi cara Allah menyelamatkan hidup banyak orang (Kejadian 50:20).
Contoh lain adalah Daniel dan teman-temannya. Mereka dibawa ke Babel sebagai orang buangan, bukan atas keinginan diri sendiri. Tetapi di negeri asing itu, mereka menunjukkan integritas, iman, dan hikmat yang membuat mereka dihormati dan diangkat menjadi pejabat tinggi (Daniel 1–2). Namun demikian, mereka tidak kehilangan identitas sebagai umat Allah, meski hidup jauh dari tanah kelahiran.
Ada pula kisah Naomi dan Elimelekh, yang “kabur” ke Moab karena kelaparan di Betlehem (Rut 1). Meski kepergian mereka membawa luka dan kehilangan, justru dari Moab-lah kemudian datang Rut, leluhur Daud dan Yesus Kristus. Ini merupakan sesuatu yang melampaui rencana Naomi dan Elimelekh. Sekali lagi, kita belajar bahwa kepergian atau merantau ke tempat yang jauh, entah karena dipaksa oleh keadaan atau karena keinginan yang terencana dengan baik, sesungguhnya ada dalam kendali Tuhan. Bahkan Tuhan dapat memakainya menjadi bagian dari rencana penyelamatan yang besar.
Pergi belum tentu berarti lari dari tanggung jawab
Iman Kristen tidak mengharuskan seseorang untuk tetap tinggal di satu tempat demi membuktikan jiwa nasionalisme. Alkitab tidak menilai kesetiaan seseorang berdasarkan lokasi geografis, tetapi berdasarkan ketaatan kepada Tuhan. Dalam Kisah Para Rasul, Allah sendiri yang menyebarkan para murid keluar dari Yerusalem melalui penganiayaan (Kisah 8:1–4). Mereka “kabur” karena keadaan yang memaksa, tetapi Tuhan memakai peristiwa ini demi akselerasi penetrasi pekabaran Injil di tempat-tempat baru.
Maka, jika seseorang merantau ke luar negeri demi studi, pekerjaan, atau kehidupan yang lebih layak, hal itu tidak serta-merta berarti ia kurang cinta Indonesia. Bisa jadi, ia sedang merespons panggilan Allah untuk menjadi berkat di tempat lain. Yesus sendiri berkata, “Kamu adalah terang dunia” (Matius 5:14), dan terang itu adakalanya harus dibawa ke tempat-tempat yang gelap dan jauh.
Bijaksana dalam menyikapi fenomena sosial
Namun demikian, tidak semua keinginan “kabur” patut dibenarkan begitu saja. Gereja harus mendorong umat untuk bertanya: Apakah ini panggilan Tuhan, atau pelarian dari tanggung jawab? Apakah saya sedang mencari kehendak-Nya, atau hanya mencari kenyamanan? Apakah saya siap menjadi saksi Kristus di tempat baru, atau hanya ingin hidup tenang tanpa beban?
Fenomena “kabur aja dulu” bisa dibaca sebagai kritik sosial terhadap pemerintah, dan itu sah. Tapi orang Kristen dipanggil untuk tidak hanya mengkritisi, melainkan juga membawa pengharapan. Jika kita tinggal, mari tinggal dengan tekad untuk membangun. Jika kita pergi, mari pergi dengan iman untuk menjadi terang di tempat baru. Dan bahkan dari perantauan bisa terlibat memajukan tanah air, sebagaimana Nehemia yang datang dari Persia ke Yerusalem untuk membangun kembali tembok kota yang telah runtuh dengan izin Raja Artahsasta.
Jangan Takut Pergi, Jangan Takut Tinggal
Kepada yang memilih tinggal di Indonesia: teruslah berdoa dan bekerja untuk kebaikan bangsa ini. Kepada yang memilih pergi: jangan merasa bersalah, tapi pergilah dengan visi menjadi duta Kerajaan Allah. Dalam kedua pilihan itu, yang paling penting adalah hidup dalam ketaatan.
Tengoklah sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang dimotori oleh banyak tokoh yang pernah studi di luar negeri, namun jiwa nasionalisme mereka tetap membara. Mereka berkolaborasi dengan tokoh-tokoh di dalam negeri untuk tujuan nasional yang sama.
Mari analisa bersama lagu Tanah Airku, yang beberapa tahun terakhir selalu dinyanyikan bersama oleh tim nasional sepakbola Indonesia bersama supporter sesaat setelah pertandingan usai:
Tanah airku tidak kulupakan, ‘kan terkenang selama hidupku
Biar pun saya pergi jauh, tidak ‘kan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai, engkau kuhargai
Walaupun banyak negeri kujalani, yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku, di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan, engkau kubanggakan
Lagu Tanah Airku di atas mendeskripsikan orang Indonesia yang sedang berada di negeri rantau, namun selalu rindu dan cinta tanah airnya sendiri. Nasionalisme tidak melulu soal seseorang tinggal di mana, tapi soal hati dan loyalitas pada bangsanya. Tidak sedikit para diaspora yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Bahkan mereka sering disebut sebagai ‘pahlawan devisa’.
Akhir kata, pergi bukan berarti mengkhianati. Tinggal pun bukan berarti lebih mulia. Baik tinggal maupun pergi, kiranya kita semua tetap setia pada panggilan Allah, dan menjadi berkat di mana pun berada.
Kiranya SUP ini menjadi hidangan yang menggugah rasa, juga membangkitkan selera. Mengamplifikasi kecintaan kepada nusa dan bangsa. Semoga para pembaca terus mengusahakan kemajuan Nusantara tercinta, di manapun saat ini Anda berada. Soli Deo Gloria!