Literasi Bukan Sekadar Baca-Tulis: Enlightenment, Enrichment, Dan Empowerment

Krisis Literasi yang Tak Berubah Dua Dekade

Jika kita menelusuri hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) dari tahun 2000 hingga 2022, posisi literasi membaca siswa Indonesia sungguh memprihatinkan. Skor Indonesia selalu berada di peringkat bawah, dan dalam dua puluh tahun terakhir, hampir tidak menunjukkan peningkatan berarti. Pada PISA 2000, skor literasi membaca Indonesia hanya 371 poin — jauh di bawah rata-rata OECD (500 poin). Dua puluh dua tahun kemudian, pada PISA 2022, skornya 359 poin, bahkan menurun. Dengan kata lain, generasi berganti, kurikulum berubah, tetapi kemampuan memahami bacaan tetap di titik stagnan.

Bisa Membaca, tapi Tak Memahami

Secara statistik, Indonesia memang mengalami kemajuan signifikan dalam hal angka buta huruf. Tahun 2005, tingkat buta huruf masih sekitar 10%, sementara tahun 2025 diperkirakan tinggal 1,9% (BPS, 2025). Namun ironisnya, kemampuan membaca secara teknis tidak diikuti dengan kemampuan memahami makna. Banyak orang bisa membaca teks, tetapi gagal menangkap ide, pesan, dan relevansi isinya. Fenomena ini tampak nyata dalam keseharian. Masyarakat cepat bereaksi pada judul berita, tetapi jarang membaca isinya tuntas. Informasi sepotong disebar tanpa verifikasi. Dalam konteks ini, literasi kita lebih banyak berhenti di reading ability, belum menyentuh reading comprehension.

Mengenal Makna Literasi

Literasi sejatinya bukan sekadar kemampuan baca-tulis. Literasi adalah enlightenment (pencerahan), enrichment (pengayaan), dan empowerment (pemberdayaan). Pencerahan, karena literasi membuka wawasan, menyingkap makna, dan menuntun seseorang berpikir jernih. Pengayaan, karena literasi memperkaya jiwa dan memperluas cakrawala berpikir. Pemberdayaan, karena literasi memberi kemampuan untuk berpikir kritis, mengambil keputusan, dan bertindak bijak dalam kehidupan nyata.

Mengapa Literasi Kita Rendah

Ada beberapa faktor utama yang membuat kemampuan literasi Indonesia masih tertinggal: 1) Kebiasaan membaca yang rendah — Menurut data UNESCO dan World’s Most Literate Nations (CCSU, 2016), minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%, artinya dari seribu orang, hanya satu yang benar-benar gemar membaca buku. 2) Kualitas bahan bacaan dan akses yang terbatas — Perpustakaan sekolah sering tidak berfungsi optimal, koleksi buku minim, dan belum relevan dengan minat siswa. 3) Pola pendidikan yang masih berorientasi ujian — Pembelajaran di kelas lebih banyak menekankan hafalan dan nilai angka, bukan pemahaman dan penalaran mendalam. 4) Dampak lingkungan digital — Media sosial telah menggeser budaya baca menjadi budaya scrolling.

Dampak Rendahnya Literasi

Rendahnya literasi berdampak luas: lemahnya kemampuan berpikir kritis dan analitis, mudahnya masyarakat terpengaruh hoaks dan disinformasi, rendahnya produktivitas dan inovasi, serta minimnya budaya dialog dan apresiasi terhadap perbedaan pandangan. Negara dengan literasi rendah sulit menjadi bangsa unggul, karena kualitas peradaban ditentukan oleh cara berpikir warganya — bukan sekadar angka ekonomi.

Solusi: Menumbuhkan Literasi dari Sekolah dan Keluarga

1) Sekolah sebagai ekosistem literasi — Literasi perlu diintegrasikan dalam semua mata pelajaran. Guru bukan hanya pengajar materi, tetapi juga fasilitator berpikir kritis. Program seperti Gerakan Literasi Sekolah harus menjadi budaya, bukan seremonial. 2) Keluarga sebagai fondasi — Anak-anak yang tumbuh di rumah penuh buku dan percakapan bermakna akan lebih mudah mencintai membaca. 3) Masyarakat sebagai ruang belajar — Literasi dapat hidup di mana saja: di gereja, di taman, di warung, di media sosial. Setiap ruang publik seharusnya menjadi ruang pencerahan — bukan ruang gaduh tanpa makna.

Penutup

Bangsa yang literat bukan sekadar bangsa yang bisa membaca, tetapi bangsa yang mampu memahami, menimbang, dan bertindak dengan bijak. Literasi sejati adalah cahaya yang menuntun manusia menjadi lebih sadar, cerdas, dan manusiawi. Kini, saat angka buta huruf menurun, kita menghadapi tantangan baru: buta makna. Dan melawan buta makna inilah tugas besar pendidikan, keluarga, dan masyarakat kita hari ini.

YMP

Sentani–Papua, 15 Oktober 2025

Sumber Data & Referensi

  1. Badan Pusat Statistik (BPS). Survei Sosial Ekonomi Nasional 2025.
  2. OECD (2023). PISA 2022 Results, Volume I: The State of Learning Worldwide.
  3. CCSU (2016). World’s Most Literate Nations.
  4. UNESCO (2023). Global Education Monitoring Report.
  5. Kemdikbudristek (2024). Laporan Nasional Peningkatan Literasi dan Numerasi.
  6. Kompas R&D (2024). Survei Minat Baca Masyarakat Indonesia.

 

Dr. Drs. Yohanes Moeljadi Pranata, M.Pd
Selaku ahli Kurikulum, Pembelajaran, dan Asesmen

Recommended For You

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *