
Dietrich Bonhoeffer adalah seorang teolog Kristen, pendeta dan aktivis asal Jerman, lahir 4 Februari 1906. Ia berasal dari keluarga kaya dan berpengaruh. Pada usia dua puluh tiga tahun, ia sudah menjadi dosen teologi di Universitas Berlin. Pandangan-pandangan religius dan politiknya menarik perhatian para mahasiswanya. Ia dikenal karena perlawanannya terhadap pemerintahan Nazi selama perang dunia II, ia menentang keras kebijakan anti-semit dalam pemerintahan Nazi dan terlibat dalam kelompok perlawanan untuk menggulingkan Adolf Hitler.
Dietrich Bonhoeffer dianggap sebagai salah satu tokoh teolog Kristen yang paling berpengaruh pada abad ke-20, warisannya masih mempengaruhi pemikiran teologis dan kehidupan gereja hingga saat ini. Salah satu pemikiran atau konsep utamanya berfokus pada tanggung jawab etis, yang menekankan tanggung jawab kehidupan Kristen melalui iman yang harus dinyatakan dalam tindakan aktif terhadap lingkungan sosial dan politik, yang berdasarkan kebenaran dan menciptakan keadilan, menjadi komitmen terhadap diri sendiri dan sesama.
Dalam karyanya yang terkenal yaitu: The Cost of Discipleship (Mengikut Yesus) yang menyerang “Anugerah yang murah” dari ajaran Lutheran, yang dianggap membuat orang menjadi nyaman dengan berbuat dosa. Melalui “Anugerah yang mahal” ia menyatakan: “hanya melalui ketaatan seseorang dapat dibebaskan untuk percaya”. Pada April 1943, Ia ditangkap. Selama di penjara Ia menyurati teman-temannya, dan surat-surat itu kemudian dibukukan dengan judul Letters and Papers From Prison (Surat-surat dan Tulisan-tulisan dari Penjara) yang mencerminkan keteguhan imannya akan Kristus dalam membela keadilan.
Dalam Masa terakhir hidupnya, ia menulis tentang “kekristenan tanpa agama”. Situasi dan pengalamannya, membuat ia bertanya, “apa sebenarnya kekeristenan itu, bahkan siapa Kristus sebenarnya bagi kita pada masa kini”. Ia prihatin menghadapi orang-orang sekuler yang tidak beragama, dimana Tuhan makin disingkirkan dari dunia.
Pada 9 April 1945, Bonhoeffer dihukum mati dalam usia 39 tahun, karena tindakan perlawanannya untuk membunuh Hitler dan menggulingkan pemerIntahan Nazi yang kejam. Ia menyambut kematiannya dengan sukacita dan ucapan syukur, karena keyakinannya ada kehidupan di dunia akhirat. Kata terakhir yang diucapkan: “Inilah akhirnya bagiku, adalah awal kehidupan.”
Saat ini kita hidup dalam zaman yang berbeda dengan Bonhoeffer, keberanian dan kegigihannya mempertahankan kemurnian gereja dari kontaminasi sekularisme, patut kita teladani. Tulisan-tulisannya yang masih menjadi pergumulan teologi, menantang kita secara pribadi untuk memiliki relasi yang lebih dekat dengan Yesus Kristus, Tuhan kita, mengaktualisasikan dalam tindakan nyata dengan ketaatan dan komitmen yang penuh, serta berani membenahi gereja, dimana kita menjadi bagiannya, sesuai dengan situasi dimana kita berada saat ini.